TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sengketa hukum antara PT Geo Dipa Energi (Persero) dan PT Bumigas Energi terkait kontrak pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Dieng dan Patuha, berlarut-larut.
Hal ini dinilai bisa memberikan preseden buruk bagi pengembangan panas bumi, dan menghambat program penyediaan listrik nasional.
“Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan permohonan pembatalan putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) terkait kasus tersebut, tidak tepat dan berpotensi merugikan negara,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara dalam siaran pers di Jakarta, Minggu (21/10/2018).
Menurutnya, Bumigas tak memiliki hak untuk meminta ganti rugi atau melanjutkan kontrak dengan Geo Dipa, karena telah terbukti gagal memenuhi ketentuan kontrak.
Dampak dibatalkannya Putusan BANI No 922/2017 adalah Bumigas meminta membayar ganti rugi sebesar Rp 5 triliun, sebagaimana gugatannya di PN Jakarta Selatan. Bumigas pun meminta Geo Dipa menyerahkan aset PLTP Patuha Unit 1 senilai Rp 2,5 triliun kepada Bumigas.
"Padahal PLTP ini sudah dibangun sendiri oleh Geo Dipa melalui pinjaman dari BNI. Tentu saja keputusan PN Jaksel di atas sangat pantas dicurigai sarat KKN, karena bukan saja absurd, tidak masuk akal, tetapi juga dengan vulgar melegalkan upaya perampokan aset negara," tuturnya.
Ada pun Putusan BANI No 922/2017 pada 30 Mei 2018 menyatakan Bumigas gagal menyediakan dana sesuai ketentuan Pasal 55 Kontrak dan menyatakan Kontrak dinyatakan berakhir terhitung 30 Mei 2018.
Namun, Bumigas kemudian kembali mengajukan permohonan (ketiga) pembatalan Putusan BANI No 922/2017 kepada PN Jakarta Selatan pada 4 September 2018.
"Dengan begitu, keputusan yang diambil justru memihak kepada yang salah dan yang gagal memenuhi kewajiban kontrak. Keputusan lembaga-lembaga pengadilan tersebut bukan saja telah menghambat proyek pembangunan kelistrikan nasional, tetapi juga berpotensi merugikan negara triliunan rupiah," tegasnya.
Oleh karena itu, Marwan Batubara mendesak agar pemerintah dan DPR turun tangan menyelesaikan kasus ini. Potensi kerugian negara jika Geo Dipa menyerahkan PLTP Patuha Unit 1 kepada Bumigas mencapai Rp 2,4 triliun.
Padahal, menurut aturan yang berlaku, izin pengelolaan pengusahaan panas bumi rezim lama berupa kuasa pengusahaan jelas diakui oleh hukum Indonesia, seperti yang dijalankan oleh Pertamina Geothermal Energi (PGE) dalam mengelola 14 wilayah kerja PLTP.
Di sisi lain, IRESS melihat bahwa oknum-oknum hakim pada lembaga-lembaga pengadilan yang menangani kasus ini mengidap moral hazard yang justru terpengaruh dengan upaya KKN yang dilakukan Bumigas.
Dengan begitu, keputusan yang diambil justru memihak kepada yang salah dan yang gagal memenuhi kewajiban kontrak. Keputusan lembaga-lembaga pengadilan tersebut bukan saja telah menghambat proyek pembangunan kelistrikan nasional, tetapi juga berpotensi merugikan negara triliunan rupiah. (Royke Sinaga)
Berita Ini Sudah Dipublikasikan di Wartakota, dengan judul: Konflik Bumigas-Geo Dipa Bisa Hambat Program Pembangunan Kelistrikan Nasional