"Alur perdagangan jagung saat ini umumnya masih panjang dan menyebabkan harga cenderung tinggi. Jagung dari petani biasanya dijual ke pedagang pengumpul, dan selanjutnya dijual lagi ke pedagang besar. Dari pedagang besar ini, barulah dipasarkan ke industri," terangnya.
Syukur pun memberi contoh perbedaan harga distribusi jagung dari Tanjung Priok (Jakarta) ke Tajung Pandan (Bangka Belitung) yang lebih mahal dibanding ke Pelabuhan Port Plang (Malaysia).
"Kalau kita bandingkan dengan Tajung Priok ke Pelabuhan Tanjung Pandan Belitung perjalanan tiket untuk mobil angkut itu setiap 14 ton ibu biayanya Rp 33 juta belum termasuk biaya solar mobil biaya lainnya. Sementara Tanjung Priok-Port Klang untuk 24 sampai 27 ton biayanya US$ 1.750 (sekitar Rp 26,1 juta kurs Rp 14.950)," jelasnya.
Dirinya menambahkan, harga US$ 1.750 tersebut sudah termasuk seluruh biaya pengurusan dokumennya.
Oleh sebab itu Syukur mengatakan butuh dukungan semua pihak untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem distribusi ini.
Selanjutnya dirinya juga menyebut bahwa upaya Kementerian Perdagangan membangun sistem resi gudang di berbagai daerah belumlah berfungsi optimal, sehingga petani tetap terpaku pada sistem konvensional.
"Berdasarkan laporan lapangan misalnya, gudang dan pengering untuk resi gudang yang tidak berfungsi optimal tersebut ada di Luwu Raya, Minahasa Selatan, Garut, dan Lampung. Seharusnya, ketika terjadi akumulasi panen pada suatu periode, program resi gudang dimaksimalkan agar nilai tambah dan risiko produsen serta konsumen dapat dimitigasi," ungkapnya.
Dengan demikian, keputusan impor jagung, kata Syukur, yang maksimal mencapai 100 ribu ton untuk kebutuhan pakan peternakan mandiri.
Kedepannya Kementan tetap bertekad memenuhi kebutuhan jagung nasional dari produksi dalam negeri tanpa impor jagung sama sekali.
Untuk mencapai target tersebut, Kementan mengalokasikan bantuan benih jagung seluas 2,8 juta hektare yang tersebar di 33 provinsi sesuai dengan potensi lahan, lokasi pabrik pakan, dan ekspor. Dampak dari kebijakan ini sudah dirasakan dengan adanya peningkatan produksi.
Selain bantuan benih, tahun 2018 ini Kementan juga telah menganggarkan pembangunan pengering jagung (dryer) sebanyak 1.000 unit untuk petani. Hal ini dilakukan karena sebagian besar petani jagung tidak memiliki alat pengering, sehingga menyebabkan timbulnya persoalan kualitas jagung yang dipanen pada musim hujan kurang baik dan cenderung basah.
Sementara itu, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan (PPHTP) Kementan Gatot Sumbogodjatiada menegaskan harga jagung di lapangan juga tidam sebesar yang banyak diberitakan.
Dia mengatakan pada bulan Oktober 2018 harga jagung di sekitar Rp3.691 per kilogram (kg). Bahkan 3 bulan yang lalu harga jagung sempat turun di Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara hingga Rp2.887 per kg.
"Karena dari harga di tingkat petani tersebut, ditambahkan dengan biaya processing dan penyusutan bobot akibat pengeringan sebesar 15% maka harga jagung di pengguna akhir tidak lebih dari Rp4.250 per kg. Hal ini menunjukkan disparitas harga di petani dan di industri yang menjadi indikasi diperlukannya pembenahan rantai pasok jagung," paparnya.