TRIBUNNEWS.COM, SAMARINDA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia hingga November 2018 defisit sebesar USD 7,52 miliar. Tingginya impor di sektor migas menjadi biang kerok defisit neraca dagang RI, yang mencapai USD 2,05 miliar atau Rp 176 triliun.
Menanggapi hal tersebut, Kamar Dagang Industri (Kadin) menilai pemerintah perlu mendorong investasi di hulu migas supaya produksi migas nasional meningkat.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Energi dan Migas, Bobby Gafur Umar mengatakan, ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia masih sangat besar.
Dari kebutuhan BBM sebanyak 1,6 juta per hari, produsen dalam negeri hanya mampu memenuhi 720 ribu-740 ribu barel per hari. Akibatnya, pemerintah kerap impor untuk memenuhi sisanya.
"Segera didorong untuk investasi di hulu migas. Karena demand akan naik terus. Sementara produksi akan turun terus kalau tidak segera didorong untuk investasi baru," kata Bobby di Samarinda, Kalimantan Timur, Rabu (19/12/2018).
Dirut Bakrie & Brothers itu menilai perlu adanya insentif fiskal guna menarik investor.
"Pembagian kepada investor itu musti lebih besar supaya lebih menarik. Tidak hanya di situ, musti ada insentif fiskal, kalau itu ada di Kementerian Keuangan," jelasnya.
Selain itu, Bobby mengatakan, perlu adanya dorongan terhadap pertumbuhan industri dalam negeri.
Pemerintah diminta segera menggalakan penerapan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) pada setiap proyek yang digunakan pemerintah, demi mengurangi impor.
"Pemerintah harus tegas untuk penerapan TKDN, TKDN sudah keluar di Perpres bulan Juli, cuma aturan pendukung harus segera dilaksanakan saya kira Januari ada penerapan itu," kata dia.
"Jadi bila sudah diproduksi dalam negeri tidak perlu impor lagi, karena kalau impor harga dari China misalnya, mereka bunga bank lebih murah itu bisa 20-30 persen dibanding barang lokal. Jadi orang enggak ada yang mau investasi, akhirnya impor lagi," pungkasnya.