Negara-negara tersebut, juga memiliki tugas bagaimana mengurangi defisit dan utangnya tanpa melemahkan pertumbuhan ekonomi. Sehingga, tantangan bagi negara-negara seperti itu adalah bagaimana menciptakan pertumbuhan cukup tinggi tapi defisit lebih kecil.
Rincian Utang
Kementerian Keuangan mencatat total utang pemerintah per tahun 2018 mencapai Rp 4.418,3 triliun. Jumlah tersebut naik Rp 423 triliun jika dibandingkan dengan total utang pemerintah tahun 2017 yang mencapai Rp 3.995,25 triliun.
Mengutip data APBN KiTa, Rabu (23/1), Jumlah utang itu sama dengan 29,98 persen dari total PDB yang berdasarkan data sementara sebesar Rp 14.735,85 triliun. Total utang pemerintah Rp 4.418,30 triliun ini terdiri atas pinjaman yang sebesar Rp 805,62 triliun dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) pemerintah yang mencapai Rp 3.612,69 triliun.
Adapun rinciannya, dari pinjaman sebesar Rp 805,62 triliun terdiri dari pinjaman luar negeri Rp 799,04 triliun dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp 6,57 triliun. Pinjaman luar negeri sebesar 18,23 persen terdiri atas pinjaman bilateral Rp 330,95 triliun, pinjaman multilateral Rp 425,49 triliun, pinjaman komersial Rp 42,60 triliun, sedangkan suppliers nihil.
Sisanya, Rp 3.612, 69 triliun atau 81,77 persen berasal dari penerbitan surat berharga negara (SBN). Surat berharga negara tersebut dibagi menjadi dua yakni denominasi rupiah yang mencapai Rp 2.601,63 triliun dan denominasi valas yang mencapai Rp 1.011,05 triliun.
Risiko Pinjaman
Ekonom INDEF Bhima Yuhdistira Adhinegara menjelaskan warning yang diberikan IMF kepada negara lain termasuk Indonesia ada benarnya. Untuk di Indonesia fluktuasi nilai tukar rupiah akibat gejolak ekonomi dunia membuat risiko pinjaman dalam bentuk valuta asing meningkat.
Kemudian bunga acuan yang naik juga berimbas pada mahalnya bunga surat utang yang harus dibayar.
Lonjakan utang juga menciptakan fenomena crowding out effect atau perebutan likuiditas di pasar keuangan. Uang yang seharusnya masuk ke sektor swasta, lebih tertarik masuk ke Pemerintah.
"Dengan kondisi ini sebaiknya Pemerintah melakukan beberapa penyesuaian yaitu mengurangi ketergantungan pada penerbitan SBN valas, dan memperdalam pasar keuangan domestik dengan terbitkan lebih banyak obligasi ritel denominasi rupiah," kata Bhima.
Dia menyebutkan, pemerintah perlu melakukan rasionalisasi proyek-proyek pembangunan. "Pemerintah juga bisa menunda beberapa proyek infrastruktur yang dibiayai melalui utang valas termasuk utang BUMN," jelas dia. (kompas.com/kontan/tribun network)