News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Sri Mulyani Anggap Utang Pemerintah Rp 4.418 Triliun Masih Aman

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Menteri Keuangan Sri Mulyani

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku masih dalam batas aman kendati total utang pemerintah sampai tahun 2018 kini tercatat sebesar Rp 4.418,3 triliun. Selama empat tahun era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), utang bertambah Rp 1.809,6 triliun.

Banyak pihak menilai nominal utang pemerintah sebesar Rp 4.418,3 triliun sudah pada tarap mengkhawatirkan. Namun, bagi Sri Mulyani mengaku tidak mengkhawatirkan, dibadningkan negara-negara lainnya.

"Debt to GDP ratio sepengetahuan saya, itu 30 persen, nggak tinggi. Tapi kita tidak katakan mau sembrono. Kan nggak juga. Kita harus hati-hati, defisit makin diperkecil. Apakah dengan defisit kemarin Rp 1,7 triliun, itu besar? Apakah itu berarti pemerintah ugal-ugalan? Ya nggak lah," kata Sri Mulyani di Kompleks Istana, Jakarta Pusat, Rabu (23/1).

"Indonesia sekarang growth di atas 5 persen dan defisitnya di bawah 2 persen. Jadi, tidak relevan statement IMF itu untuk Indonesia karena berarti kita kan makin hari akan makin menurun," kata Sri Mulyani.

Baca: BI: Utang Luar Negeri RI Masih Terkendali

Besaran utang pemerintah memiliki batasan aman atau tidaknya diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara nomor 17/2003.

Disebutkan pada Pasal 12 ayat (3) bahwa defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3 persen dari produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60 persen dari PDB.

Dengan total utang Rp 4.418,3 triliun, maka rasio utang sebesar 29,98 persen dari total PDB yang berdasarkan data sementara sebesar Rp 14.735,85 triliun. Itu artinya, masih di bawah batas yang ditentukan Undang-Undang Keuangan Negara.

"Debt to GDP rasio kita itu 30 persen, bandingkan dengan negara lain apakah itu mengkhawatirkan? Kan gitu. Negara yang sama dengan kita income-nya, negara yang maju, yang lebih miskin, coba saja dibandingkan," kata Sri Mulyani, menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia Group, yang berkantor di Amerika Serikat, periode 1 Juni 2010 – 27 Juli 2016.

Karena itu, Sri Mulyani tetpa tenang, tidak cemas akan peringatan yang disampaikan oleh Dana Moneter Internasional kepada negara-negara berkembang terkait pengelolaan utang.

Dalam laporan World Economic Outlook Update yang dirilis Senin (21/1), Dana Moneter Internasional (IMF) menulis di beberapa negara, mengatasi beban utang swasta yang tinggi dan mismatch mata uang dan masa jatuh tempo utang akan memerlukan kerangka kerja makroprudensial yang kuat.

Kebijakan fiskal harus memastikan rasio utang tetap sustainable di tengah kondisi keuangan eksternal yang semakin menantang. Sri Mulyani mengatakan utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) masih di bawah 30 persen yang masih sangat rendah bila dibandingkan dengan standar internasional. Selain itu, defisit anggaran yang mencapai 1,7 persen juga disebutnya masih aman.

"Kalau bicara tentang IMF ini, ada negara advanced countries, seperti di Eropa yang debt-to-GDP ratio itu sudah di atas 60 persen, ada yang 80 persen, bahkan 100 persen. Jadi, untuk negara-negara seperti itu, mereka pasti harus melakukan konsolidasi fiskal," ujar Sri di sela-sela acara forum diskusi A1, Selasa (22/1).

Lebih lanjut, Sri Mulyani juga mencontohkan Italia yang debt to-GDP ratio-nya sudah di atas 100 persen tetapi masih ingin defisitnya di atas 2,4 persen.

"Nah, untuk negara-negara itulah statement IMF menjadi berlaku. Negara seperti ini harus menjaga keseimbangan fiskalnya dengan mengurangi defisit dan oleh karena itu mengurangi utangnya," kata Sri.

Negara-negara tersebut, juga memiliki tugas bagaimana mengurangi defisit dan utangnya tanpa melemahkan pertumbuhan ekonomi. Sehingga, tantangan bagi negara-negara seperti itu adalah bagaimana menciptakan pertumbuhan cukup tinggi tapi defisit lebih kecil.

Rincian Utang

Kementerian Keuangan mencatat total utang pemerintah per tahun 2018 mencapai Rp 4.418,3 triliun. Jumlah tersebut naik Rp 423 triliun jika dibandingkan dengan total utang pemerintah tahun 2017 yang mencapai Rp 3.995,25 triliun.

Mengutip data APBN KiTa, Rabu (23/1), Jumlah utang itu sama dengan 29,98 persen dari total PDB yang berdasarkan data sementara sebesar Rp 14.735,85 triliun. Total utang pemerintah Rp 4.418,30 triliun ini terdiri atas pinjaman yang sebesar Rp 805,62 triliun dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) pemerintah yang mencapai Rp 3.612,69 triliun.

Adapun rinciannya, dari pinjaman sebesar Rp 805,62 triliun terdiri dari pinjaman luar negeri Rp 799,04 triliun dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp 6,57 triliun. Pinjaman luar negeri sebesar 18,23 persen terdiri atas pinjaman bilateral Rp 330,95 triliun, pinjaman multilateral Rp 425,49 triliun, pinjaman komersial Rp 42,60 triliun, sedangkan suppliers nihil.

Sisanya, Rp 3.612, 69 triliun atau 81,77 persen berasal dari penerbitan surat berharga negara (SBN). Surat berharga negara tersebut dibagi menjadi dua yakni denominasi rupiah yang mencapai Rp 2.601,63 triliun dan denominasi valas yang mencapai Rp 1.011,05 triliun.

Risiko Pinjaman

Ekonom INDEF Bhima Yuhdistira Adhinegara menjelaskan warning yang diberikan IMF kepada negara lain termasuk Indonesia ada benarnya. Untuk di Indonesia fluktuasi nilai tukar rupiah akibat gejolak ekonomi dunia membuat risiko pinjaman dalam bentuk valuta asing meningkat.

Kemudian bunga acuan yang naik juga berimbas pada mahalnya bunga surat utang yang harus dibayar.

Lonjakan utang juga menciptakan fenomena crowding out effect atau perebutan likuiditas di pasar keuangan. Uang yang seharusnya masuk ke sektor swasta, lebih tertarik masuk ke Pemerintah.

"Dengan kondisi ini sebaiknya Pemerintah melakukan beberapa penyesuaian yaitu mengurangi ketergantungan pada penerbitan SBN valas, dan memperdalam pasar keuangan domestik dengan terbitkan lebih banyak obligasi ritel denominasi rupiah," kata Bhima.

Dia menyebutkan, pemerintah perlu melakukan rasionalisasi proyek-proyek pembangunan. "Pemerintah juga bisa menunda beberapa proyek infrastruktur yang dibiayai melalui utang valas termasuk utang BUMN," jelas dia. (kompas.com/kontan/tribun network)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini