TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua pansus RUU Pertembakauan DPR RI, Firman Soebagyo, memastikan bahwa berbagai kebijakan terkait cukai rokok masih tetap ditunda implementasinya, setidaknya sampai tahun politik berakhir.
Selain membatalkan kenaikan cukai rokok pada 2019, pemerintah juga telah menunda penerapan kebijakan terkait penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai rokok, juga rencana menggabungkan volume produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dengan Sigaret Putih Mesin (SPM).
”Tidak ada unsur politis di balik penundaan itu. Yang pasti, kita semua sedang sibuk dengan pemilu. Lagi pula, soal itu (penetapan tarif cukai rokok) merupakan domain pemerintah, bukan domain DPR. DPR hanya melakukan kajian saja,” ujar Firman dalam keterangannya, Senin (4/3/2019).
Baca: Batalkan Kenaikan Cukai Rokok, Wapres JK: Program Kesehatan Tak Terganggu
Penegasan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI ini sekaligus menganulir desakan dari koleganya di Komisi XI, yang sebelumnya mengusulkan untuk menerapkan penggabungan volume produksi SKM dan SPM pada 2019 ini.
Penggabungan volume produksi SKM dan SPM, yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 146/2017, diusulkan segera diterapkan dengan pertimbangan untuk memaksimalkan penerimaan negara dari cukai.
Dua anggota Komisi XI, Indah Kurnia dari Fraksi PDI Perjuangan dan Amir Uskara dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), mendorong kembali wacana tersebut pada Februari 2019 lalu.
Sedangkan, PMK 146/2017 tersebut telah direvisi dan ditunda pelaksanaannya lewat penerbitan PMK 156/2018, yang ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 12 Desember 2018.
Firman Soebagyo menambahkan, penundaan berbagai kebijakan terkait cukai rokok tidak lepas dari urgensi untuk melakukan kajian yang lebih komprehensif.
Di samping, perlu mendengarkan aspirasi dari petani tembakau dan pelaku usaha, agar tidak salah dalam membuat kebijakan.
Politisi senior Partai Golkar ini berpendapat, kebijakan simplifikasi tarif cukai Itu memang berpotensi merugikan masyarakat.
Utamanya, para petani tembakau dan perusahaan rokok kecil.
”Selain itu, ada jutaan buruh linting kretek yang juga sangat tergantung hidupnya dari industri nasional hasil tembakau (IHT),” ujarnya.
Di berbagai kesempatan, Firman mengingatkan, jumlah pabrik IHT tiap tahun mengalami penurunan yang sangat drastis.
Jumlah pabrik rokok berkurang tiap tahun alias gulung tikar. Pada 2006, misalnya, jumlah pabrik rokok tercatat sebanyak 4.669.
Namun, pada akhir 2018, jumlahnya hanya tinggal 728.
”Ada kekhawatiran yang sangat mendasar dari industri skala menengah dan kecil terkait kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan keberlangsungan IHT. Di sisi lain, posisi kretek 95 persen menguasai pasar dalam negeri,” lanjutnya.
Firman tidak menutup mata, tujuan pemerintah lewat berbagai kebijakan tarif cukai adalah untuk meningkatkan penerimaan negara.
Tetapi di sisi lain, kebijakan tersebut justru berpotensi menutup industri skala menengah ke bawah.
"Korbannya akan sangat besar. Selain berdampak terhadap tenaga kerja, kehidupan petani terancam, industri skala menengah ke bawah juga mengalami kebangkrutan. Dan yang paling ngeri adalah akan terjadi monopoli dan oligopoli yang luar biasa dalam industri ini,” lanjutnya.
Terkait itu, Firman menyatakan, banyak hal masih perlu dikaji kembali untuk memenuhi asas keadilan dalam IHT.
Mulai dari pentingnya kebijakan terkait tarif untuk golongan II ke bawah, perlunya regulasi yang membedakan pemberlakuan tarif impor secara progresif bila sudah melebihi 25 persen, hingga melindungi Sigaret Kretek Tangan (SKT) dari pergeseran yang terus menerus terjadi ke sigaret berbasis mesin.
”Ujungnya adalah bagaimana mengakomodir semua masalah itu dalam RUU Pertembakauan. Nantinya, undang-udang ini harus bisa memberikan rasa keadilan, terutama bagi petani dan pekerja, di samping menimbang penerimaan negara dan industri dalam negeri,” tuturnya.
Firman sendiri berpendapat, RUU Pertembakauan tidak perlu diputuskan terburu-buru. ”Yang penting kualitasnya harus baik dan bukan asal jadi,” tegasnya. (*)