TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pemili 2019 telah digelar. Saat ini warga Indonesia sedang menunggu pengumuman Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Antusiasme para pelaku pasar di tahun pemilu ini sudah ditandai dengan meningkatnya arus modal asing, baik di pasar modal maupun obligasi sejak awal tahun (year to date, ytd) hingga akhir pekan lalu.
Namun demikian, dampak pemilu terhadap pasar modal pada tahun 2019 ini tidak akan sekuat dibanding pemilu sebelumnya sejak era reformasi.
Kepala Makro Ekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management (BTIM) Budi Hikmat mengungkapkan berakhirnya era super commodity booming yang memicu defisit neraca berjalan selama lima tahun terakhir merupakan faktor pembeda secara fundamental.
“Pada pemilu sebelumnya, era super commodity booming ini menopang surplus neraca berjalan yang memperkuat daya beli masyarakat seperti tercermin pada peningkatan uang beredar M1.
Baca: Gubernur Anies Ubah Kebijakan Ahok Soal Perumahan, Rumah di Bawah Rp 1 Miliar Kembali Kena Pajak
Baca: Jelang Liga 1 2019, Pemain Persipura Gelar Doa Bersama
Penjualan big-ticket items seperti kendaraan bermotor, property dan semen cenderung meningkat yang meningkatkan laba emiten. Itu sebabnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melambung naik setiap tahun pemilu.
Namun pemilu kali ini ditandai dengan pelemahan pertumbuhan M1 yang sejalan dengan defisit neraca berjalan yang berisiko membatasi kenaikan IHSG,” ungkap Budi Hikmat dalam keterangan persnya, Selasa (23/4/2019).
Lalu, bagaimana panduan sekaligus strategi investasi BTIM pasca pemilu Indonesia tahun 2019 ini? Sebagai perusahaan manajer investasi plat merah, BTIM menggunakan panduan ringkas untuk memahami prospek investasi di pasar modal.
“Dalam keadaan normal, kami mencermati lima faktor utama yang disingkat sebagai ELVIS. Dimana earning sebagai faktor utama untuk menarik investor saham. Kedua, liquidity terutama dari luar negeri. Selanjutnya faktor valuation seperti price to earning ratio.
Lalu faktor interest rate terutama kebijakan bank sentral, dan terakhir faktor sentiment yang bisa diukur berdasarkan angka credit default swap (CDS) Indonesia. Mencermati dinamika global dan fundamental domestik, panduan itu kami atur ulang sebagai SLIVE,” papar Budi.
Baca: Polda Jatim Sebut Video Kericuhan di Sampang Adalah Video Tahun 2018
Baca: Jelang Liga 1 2019, Pemain Persipura Gelar Doa Bersama
Sentiment menjadi faktor utama terutama sebagai dampak perubahan drastis kebijakan the Fed yang mengakhiri pengetatan likuiditas dan berakhirnya stimulus pajak Presiden Trump. Berbeda dibandingkan tahun 2018, arus modal asing mulai kembali menuju negara berkembang.
Indonesia mendapat apresiasi khusus tidak hanya pemilu yang berlangsung lancar, namun kesigapan dan independensi kebijakan moneter dan fiskal dalam menghadapi gejolak global selama tahun 2018.
Angka CDS Indonesia cenderung menurun yang menunjukkan kepercayaan investor asing bahwa risiko gagal bayar negara Indonesia terbilang rendah.
Ada peluang Bank Indonesia bakal melonggarkan likuiditas termasuk melalui penurunan suku bunga bila the Fed memang tidak lagi menaikkan bunga sementara penyaluran kredit masih belum memuaskan.
Budi menyoroti spread antara suku bunga Bank Indonesia baik terhadap proyeksi inflasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terbilang tebal setelah kenaikan pesat bunga selama tahun 2018 lalu.
Berdasarkan panduan SLIVE, Budi melihat alokasi arus modal asing di pasar surat berharga negara (SBN) akan lebih besar ketimbang pasar modal.
Baca: Pria yang Ditemukan Tidak Bernyawa di Anak Sungai Cisadane Miliki Gangguan Mental
Baca: Yura Yunita Banjir Ucapan Terima Kasih Berkat Lagu Perselingkuhan yang Ia Nyanyikan
Investor asing memanfaatkan imbal hasil SBN yang masih relatif tinggi sejalan dengan penurunan yield T-bond dan peluang penguatan rupiah hingga akhir tahun. Terlebih lagi risiko kelebihan penawaran SBN relatif terbatas mengingat pemerintah telah lebih awal menerbitkan (front-loading) jelang akhir tahun lalu.
“Semarak pada pasar SBN menjadi semacam prasyarat peluang kenaikan di pasar saham yang juga menunggu penguatan daya beli sekira pemerintah mampu memacu kinerja ekspor manufaktur dan pariwisata sebagai mesin penghasil valas selain komoditas primer,” ungkap Budi.
Budi memproyeksikan imbal hasil saham selama tahun 2019 ini sejalan dengan pertumbuhan laba perusahaan sebesar 10-12% sehingga IHSG berpeluang ditutup pada 6800-6900 pada akhir tahun. Imbal hasil ini menarik dibandingkan inflasi yang diproyeksikan sekitar 3% hingga 4%.
Saat ini arus modal asing yang masuk ke pasar modal telah mencapai Rp 15,21 triliun sejak awal tahun. Sementara, total dana asing yang masuk di pasar modal dan obligasi telah mencapai US$ 6 miliar, jauh lebih besar dari tahun 2018.