TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Laporan keuangan PT Garuda Indonesia (persero) Tbk atau GIAA tahun 2018 menuai polemik karena menempatkan piutang menjadi pendapatan.
Ini yang sebab dua komisarisnya, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria, menolak laporan keuangan tersebut.
Direktur Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa OJK, Nur Sigit Warsidi, mengatakan, adanya pengakuan pendapatan pada periode laporan itu biasa dan bisa terjadi. Hanya saja, semua itu harus kembali merujuk pada aturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 23.
"Soal Garuda, saya normatif saja karena enggak pegang data. Apakah suatu transaksi itu sudah bisa diakui sebagai suatu pendapatan atau tidak, itu di PSAK sudah ada," kata Nur ditemui di Hotel Century Park, Jakarta, Kamis (2/5/2019).
Nur tidak menjelaskan, apakah menempatkan piutang menjadi pendapatan itu bisa dilakukan dalam sebuah laporan perusahaan atau tidak.
"Itu bisa cek kalau kita lihat kontraknya, di dalamnya seperti apa," ujarnya.
Baca: Martadinata Class Indonesia Vs Gepard Class Vietnam, Kapal Perang Mana yang Lebih Kuat?
Baca: Kesal dengan Pelayanan Sebuah Perusahaan Taksi, Nikita Mirzani: Bukan Sekali Aja!
Dia mengatakan, sebuah pengakuan pendapatan dalam laporan tahunan di semua perusahaan berlaku sama atau umum. Namun, ada hal spesifik yang memang harus perhatikan dan dipenuhi.
"Itu ada detail-detail yang harus dipenuhi, apakah suatu transaksi itu bisa diakui sebagai pendapatan, itu kriterianya," sebutnya.
"Kalau pendapatan belum dibayar secara cash ya otomatis dianggap sebagai piutang. Jadi dua-duanya dicatat, bukan piutang misalnya 'itu kan piutang tidak boleh diakui sebagai pendapatan' tidak begitu. Bisa dicatat bersamaan, namanya double entry kalau ada debetnya, ada kreditnya," tambah dia.
Meskipun demikian, Nur menyatakan, fakta-fakta itu masih normatif saja. Ia enggan menyalahkan pihak atau seseorang dalam polemim yang melanda perusahaan pelat merah itu.
"Itu normatif saya bilang, karena tidak lihat datanya. Saya tidak bisa menghakimi," tambahnya.
Sebelumnya, diberitakan laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) tahun lalu ditolak oleh dua komisarisnya yakni Chairal Tanjung dan Dony Oskaria. Chairal Tanjung merupakan perwakilan dari PT Trans Airways dan Dony wakil dari Finegold Resources Ltd yang menguasai 28,08 persen saham GIAA.
Penolakan keduanya didasarkan atas Perjanjian Kerjasama Penyediaan Layanan Konektiivitas Dalam Penerbangan antara PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia tanggal 31 Oktober 2018 lalu beserta perubahannya.
Dari perjanjian tersebut, pendapatan GIAA dari Mahata sebesar 239,94 juta dollar AS yang sebesar 28 juta dollar AS yang didapatkan dari bagi hasil yang didapatkan PT Sriwijaya Air seharusnya tidak dapat diakui dalam tahun buku 2018.
"Tadi tidak dibacakan surat keberatan kami karena tadi pimpinan rapat menyatakan cukup dengan dinyatakan dan sudah dilampirkan di Annual Report (2018)," ujar Chairal Tanjung, Komisaris GIAA di Jakarta, Rabu (24/4/2019).
Chairal meminta surat keberatan dirinya dan Dony Oskaria bisa dibacakan dalam RUPST yang digelar hari ini. Namun tidak disetujui oleh pimpinan rapat sehingga hanya disertakan sebagai lampiran dalam laporan tahunan perusahaan ini.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ini Kata OJK soal Laporan Garuda Indonesia yang Ditolak Komisarisnya"