TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Manajemen Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya mengakui memiliki utang ke pemerintah mencapai Rp 773,3 miliar. Namun mereka juga menyatakan memiliki piutang terhadap pemerintah sebesar US$ 128,24 juta atau sekitar Rp 1,9 triliun.
Piutang tersebut dinyatakan berasal dari dana talangan kepada pemerintah atas penanggulangan luapan Lumpur Sidoarjo yang dilakukan oleh Lapindo Brantas, Inc. dan PT Minarak Lapindo Jaya sepanjang periode 29 Mei 2006 sampai 31 Juli 2007.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengatakan, pemerintah telah mengetahui adanya klaim piutang tersebut.
Namun, Kemenkeu masih mengecek silang informasi tersebut dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) terkait status piutang tersebut.
Sebab, piutang yang diklaim tersebut adalah pengembalian biaya operasional (cost recovery) yang berada di bawah aturan SKK Migas.
Baca: Lapindo Bersedia Lunasi Utang Rp 773,3 Miliar ke Pemerintah, Namun Ajukan Syarat Ini
“Kita sedang diskusikan, sedang kita cek karena soal cost recovery itu kan di SKK Migas. Jadi, kita mesti cek ke sana,” ujar Isa saat ditemui Kontan.co.id di Komplek DPR, Selasa (25/6/2019).
Klaim piutang tersebut, lanjut Isa, mesti dipastikan apakah sudah disetujui oleh SKK Migas sebagai cost recovery.
Pasalnya, terdapat beberapa syarat dan ketentuan dalam perhitungan dan pengembalian biaya operasional dari pemerintah terhadap kontraktor (cost recoverable).
Baca: AirAsia Tambah 5 Rute Penerbangan Domestik, Harga Promo Jakarta-Lombok Rp 600 Ribuan
“Memang saat itu, mereka juga mengatasi semburan lumpur, berusaha menutup sumur, dan sebagainya, itu kan memang ada cost-nya dan mereka klaim itu cost recoverable. Tapi kita harus tahu bagaimana prosedur klaim cost recovery itu,” ujar Isa.
Berdasarkan riset Kontan.co.id, ketentuan mengenai pengembalian biaya operasional tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2017 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Dalam pasal 7, disebutkan kontraktor mendapatkan kembali biaya operasi sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang telah disetujui oleh Kepala Badan Pelaksana, setelah wilayah kerja menghasilkan produksi komersial.
Pasal 19 menegaskan, pembebanan biaya kerja tersebut ditangguhkan sampai dengan adanya lapangan yang berproduksi secara komersial di wilayah kerja.
Sementara, Lapindo sendiri tidak melakukan proses produksi dan tidak menyumbang penerimaan kepada negara selama ini.
Selain itu, Kemkeu juga tengah berdiskusi dengan SKK Migas, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Kejaksaan Agung terkait boleh atau tidaknya penyelesaian utang Lapindo diganti dengan cost recovery tersebut.
“Jadi kita memang harus hati-hati dengan pengertian cost recovery tersebut,” pungkas Isa.
Selain persoalan cost recovery, Isa mengatakan Kemkeu akan segera memanggil pihak Lapindo untuk merekapitulasi total utang perusahaan terhadap pemerintah secara keseluruhan.
Sebab, angka Rp 773 miliar tersebut baru pokok utang saja, sedangkan Isa bilang ada besaran bunga sekitar 4% per tahun yang juga mesti dibayarkan oleh perusahaan.
“Kalau lihat perjanjiannya, di situ disebut ada bunga yang harus mereka bayar juga. Nanti kita undang secepatnya untuk rekonsiliasi angkanya,” ungkap Isa.
Reporter: Grace Olivia
Artikel ini tayang di Kontan dengan judul Lapindo klaim punya piutang Rp 1,9 triliun ke pemerintah, ini jawaban Kemkeu