TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Jumlah jamaah haji yang mencapai 221 ribu orang, membuat banyak pihak tertarik untuk menggarap bisnis tersebut. Tak terkecuali operator telekomunikasi asal Arab Saudi Zain.
Demi mendapat fulus yang menggiurkan, mereka rela menempuh perjalanan ribuan kilometer untuk membuka booth dan berjualan layanan telekomunikasi bagi jamaah haji asal Indonesia di Arab Saudi.
Alamsyah Saragih Komisioner Ombudsman mengatakan bahwa penjualan layanan telekomunikasi oleh Zain bagi jamaah asal Indnesia yang akan beribadah haji Saudi Arabia memiliki implikasi yang sangat luas.
Selain ibadah haji dan umroh rutin dilakukan, jumlah jamaah asal Indonesia terbilang banyak, Zain yang menjual layanan telekomunikasinya di Indonesia berpotensi mengurangi pajak dan pendapatan lainnya bagi negara.
Selain itu kualitas layanan telekomunikasi yang dijanjikan Zain kepada jamaah haji juga harus menjadi perhatian pemerintah.
Alamsyah mewanti-wanti pemerintah agar masuknya dan berusahanya Zain di Indonesia, jangan sampai mengorbankan kepentingan nasional yang lebih besar.
Baca: Tersangka Kasus Asusila Minta Tak Ditahan Dulu, Ingin Selesaikan Kuliahnya Agar Tidak DO
Baca: Karena Visualnya, V BTS Memudahkan Fotografer saat Proses Pengambilan Gambar
Baca: Bayi di India Miliki Kelainan Kelahiran Langka, Terlahir dengan Tiga Kepala, Ada Dua di Belakang
Agar tak ada kepentingan nasional yang dikorbankan, sudah seharusnya pemerintah mendalami aktivitas usaha Zain di Indonesia.
Lanjut Alamsyah harusnya Pemerintah perlu mempertimbangkan antara potensi kehilangan pendapatan di satu sisi dan manfaat bagi masyarakat di sisi lain. Apakah masih proporsional atau tidak.
“Apakah dia sudah berizin di Indonesia, memiliki SIUP dan memenuhi seluruh regulasi dan kewajiban yang diamanahkan di dalam perundang-undangan. Jika Zain memenuhi semua kewajiban sesuai dengan yang diamanahkan di undang-undangan maka kepentingan nasional tak ada yang dikorbankan,”terang Alamsyah.
Heru Sutadi, mantan komisioner BRTI pun ikut angkat bicara terhadap tingkat polah Zain yang membuka layanannya penjualan SIM card di Indonesia. Menurutnya, seharusnya semua pihak yang ingin berusaha di Indonesia harus memiliki izin. Apa lagi industri telekomunikasi di Indonesia masih menganut rezim perizinan.
"Jadi siapapun yang ingin berjualan di Indonesia harus memiliki izin tak terkecuali. Zain. Mereka seharusnya sebelum berjualan harus mengantungi izin baik itu dari Kominfo, BRTI maupun Kementrian Perdagangan,"terang Heru.
Zain sebagai operator telekomunikasi asing yang menjual layanannya di Indonesia berpotensi melanggar UU 36 tahun 1999. Dalam pasal 1 butir 12 Undang-undang No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi disebutkan bahwa penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi. Sehingga dalam hal ini Kartu perdana (sim card) yang dijual Zain di Indonesia merupakan bagian dari media atau alat dalam penyelenggaraan telekomunikasi.
Di pasal pasal 4 UUU No. 36 tahun 1999 dinyatakan bahwa telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Kominfo. Penjualan kartu perdana operator luar negeri, dalam hal ini Zain di wilayah Indonesia tanpa penindakan yang tegas dari Kominfo akan menghilangkan kedaulatan Pemerintah atas wewenang yang dimilikinya untuk melakukan pengaturan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian dalam penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia.
Kegiatan perdagangan yang dilakukan Zain tidak memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Sebagaimana diketahui dalam pasal 24 Undang-undang No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan bahwa pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha perdagangan wajib memiliki perizinan perdagangan. Lebih lanjut lagi dalam pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan 289/MPP/Kep/10/2001 tentang Ketentuan Standar Pemberian Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) bahwa setiap perusahaan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan wajib memperoleh Surat Izin Usaha Perdagangan.