TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dipastikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan naik pada 2020.
Namun, kenaikan masih akan berada di taraf yang terjangkau.
Namun, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, kenaikan iuran ini merupakan kebijakan yang seharusnya terjadi.
"Istilah kenaikan itu tidak pas karena saat ini kami mengupayakan iuran dengan nominal yang memang seharusnya, karena sebelumnya, iuran kita ini iuran diskon," kata Fachmi pada Rabu (11/9) di Jakarta.
Besaran iuran yang ditetapkan itu, tak lepas dari langkah Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati untuk melakukan audit guna melihat secara menyeluruh program kesehatan yang dijalankan di seluruh rumah sakit dan perusahaan yang mendaftarkan kepesertaan BPJS.
Dari audit inilah ditemukan bahwa besaran iuran yang dulu rupanya di bawah yang seharusnya. Oleh karena itu, untuk menutup defisit BPJS Kesehatan, iuran pun diupayakan ke nominal yang seharusnya.
BPJS Kesehatan bersama pemerintah juga mengaku bahwa telah melakukan kajian terhadap kenaikan iuran, apakah terjangkau oleh seluruh segmen masyarakat. Fachmi pun mengatakan bahwa besaran yang akhirnya ditetapkan masih dalam taraf terjangkau.
"Ambil contoh kelas 3 yang akan menjadi Rp 42.000. Bila dihitung per hari, yang harus dibayarkan tidak lebih dari Rp 2.000. Kelas 1 pun tidak lebih dari Rp 5.000 per hari," tambah Fachmi.
Melihat tarif yang masih terjangkau tersebut, Fachmi pun meminta agar masyarakat mulai peduli dengan pemeliharaan kesehatan diri yang saat ini disediakan pemerintah lewat BPJS Kesehatan.
Sebagai tambahan informasi, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Nufransa Wira Sakti dalam siaran pers dalam laman Setkab pada Senin (9/9), kenaikan iuran akan terjadi di seluruh kelas, yaitu 100% pada kelas 1 dan 2, dan 65% pada kelas 3.
Iuran BPJS Kelas 1 dan 2 yang diusulkan pemerintah akan berlakku mulai Januari 2020. Rinciannya adalah: Kelas 1 menjadi Rp 160.000 per bulan denagn sebelumnya Rp 80.000, kelas 2 menjadi Rp 110.000 per bulan dengan sebelumnya Rp 51.000, dan kelas 3 menjadi Rp 42.000 dengan sebelumnya Rp 25.500.
Menkeu Sri Mulyani Disalahkan
Menteri Keuangan Sri Mulyani disalahkan atas kenaikan iuran BPJS Kesehatan mulai 1 Januari 2021. Salah satunya oleh Edi Mulyadi dalam salah satu tulisan di Kompasiana.
Bahkan Sri Mulyani juga dinilai sudah mengingkari sumpah jabatan yang mengatasnamakan Tuhan dan menafikkan kesetiaan terhadap republik.
Menanggapi hal tersebut, Kementerian Keuangan lewat Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi, Nufransa Wira Sakti, memberikan jawaban berbagai tuduhan yang mengarah ke Sri Mulyani.
"Sri Mulyani Indrawati kembali ke Indonesia dengan meninggalkan gajinya yang puluhan kali lipat dari gaji yang diterima sebagai menteri sekarang ini," tulisnya dalam akun Facebook pribadinya, Jakarta, Minggu (8/9/2019).
"Begitu juga fasilitasnya, sangat jauh dari apa yang diberikan di Indonesia. Pengorbanan yang sangat besar demi cintanya kepada republik tempat tanah kelahirannya," sambungnya.
Nufransa mengatakan, pemerintah tidak abai kepada rakyat dalam konteks BPJS Kesehatan. Sebab sekitar 134 juta jiwa peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) iurannya dibayarkan oleh APBN dan APBD.
Peserta tersebut terdiri dari 96,6 juta penduduk tidak mampu (PBI) yang iurannya dibayar oleh Pemerintah Pusat dan 37,3 juta jiwa lainnya iurannya dibayarkan oleh Pemda.
Selain itu pemerintah juga membayar 3 persen iuran BPJS Kesehatan Aparatur Sipil Negara (ASN), anggota TNI dan Polri.
Tidak hanya itu, pemerintah juga menyuntikan triliunan rupiah untuk menutup defisit program JKN. Mulai dari Rp5 triliun (2015), Rp 6,8 triliun (2016), Rp3,6 triliun (2017) dan Rp10,3 triliun (2018).
Baca: Perluasan Ganjil Genap di DKI Jakarta: Ada yang Minta Damai Hingga Suami Artis Ditilang
Baca: Gara-gara Tak Ada Lauk saat Mau Makan, Suami di Sumsel Cekik dan Pukuli Istrinya
Anggaran itu diberikan agar defisit BPJS Kesehatan bisa menutup defisitnya yang sebesar Rp 9,4 triliun (2015), Rp 6,7 triliun (2016), Rp 13,8 triliun (2017), dan Rp 19,4 triliun (2018).
Penyebab utama defisit program JKN kata Nufransa, yakni sudah terjadi sejak awal pelaksanaannya adalah besaran iuran yang underpriced dan adverse selection pada peserta mandiri.
Tanpa dilakukan kenaikan iuran, defisit JKN akan terus meningkat, yang diperkirakan akan mencapai Rp 32 triliun di tahun 2019, dan meningkat menjadi Rp 44 triliun pada 2020 dan Rp 56 triliun pada 2021.
Nufransa juga mengtakan, kenaikan Kelas 2 dan Kelas 1 BPJS Kesehatan juga dipertimbangkan dalam batas kemampuan bayar masyarakat (ability to pay).
Bila hal ada peserta yang merasa benar-benar berat membayar, bisa saja peserta yang bersangkutan melakukan penurunan kelas.
Khusus untuk peserta mandiri Kelas 3, akan naik menjadi sebesar Rp 42.000, sama dengan iuran bagi orang miskin dan tidak mampu.
"Intinya adalah Pemerintah sangat memperhitungkan agar kenaikan iuran tidak sampai memberatkan masyarakat dengan berlebihan," kata dia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dan KONTAN dengan judul "Sri Mulyani Disalahkan atas Kenaikan Iuran BPJS, Ini Jawaban Kemenkeu" dan BPJS Kesehatan sebut kenaikan iuran JKN sudah tepat