TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak ikut terlibat aktif dalam upaya mencegah potensi hilangnya penerimaan negara akibat kebijakan cukai rokok.
KPK diminta memberikan masukan kepada pemerintah apabila terbukti adanya celah pemanfaatan tarif cukai rokok oleh pabrikan asing.
“Ini aspek penting. Divisi pencegahan KPK perlu masuk untuk memberikan perlindungan alternatif, untuk melihat konsistensi regulasi dan memberikan masukan. Apalagi ada potensi kehilangan penerimaan negara yang cukup besar," ujar peneliti Visi Integritas, Danang Widoyoko akhir pekan lalu.
Kebijakan struktur tarif cukai yang terdiri dari 10 lapisan selama ini dinilai membuka celah bagi pabrikan besar asing membayar tarif cukai murah.
Penilaian tersebut datang dari kalangan asosiasi pabrikan rokok kecil, ekonom, dan kelompok masyarakat.
Baca: Rumah Mewah Nia Ramadhani Halamannya Seluas Lapangan Bola, Ada Perosotan di Kamar Anak
Solusi jangka panjang dan permanen untuk menutup celah kebijakan tersebut yakni dengan menggabungkan batasan produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dengan Sigaret Putih Mesin (SPM) menjadi tiga miliar batang per tahun.
Baca: Warganet Tertawa, Iwan Fals Mencuit Minta Link di Viral Video Panas PNS Jabar
Hasil riset Institute for Development of Economics and Finance
(INDEF) menunjukkan, jika batasan produksi SKM dan SPM digabung menjadi tiga miliar batang, maka terdapat 3,6 miliar batang yang diproduksi empat perusahaan multinasional didominasi para pemain besar asing yang seharusnya dikenakan tarif cukai tertinggi (golongan 1) rokok mesin SPM sebesar Rp 625 per batang.
Baca: Penuturan Meisya Siregar, Pernah Pegang Tangan Mantan Suami yang Sakit di Depan Bebi Romeo
Karenanya, Danang yang juga mantan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) itu menilai, Pemerintah perlu meninjau ulang definisi perusahaan besar atau kecil pada kebijakan cukai rokok saat ini.
Hal tersebut diyakini juga akan membuat iklim bisnis di industri hasil tembakau menjadi sehat sehingga tidak ada perusahaan besar yang membayar cukai rendah.
“Mengapa batasan 3 miliar batang per tahun masuk perusahaan besar, sementara yang di bawah 3 miliar masuk golongan II,"ujarnya.
"Publik belum mendapat informasi jelas, dari mana angka 3 miliar itu. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga harus dilibatkan agar jelas penghitungannya, prosesnya harus dibuat terbuka,” lanjut Danang.
Sementara Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo berpendapat Pemerintah perlu segera membenahi aturan cukai demi keberlangsungan industri rokok Tanah Air.
Tujuannya, agar bisa menciptakan persaingan usaha yang adil di industri hasil tembakau.
Selain itu juga untuk mengendalikan konsumsi serta memberikan perhatian lebih terhadap segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang mempekerjakan puluhan ribu ibu-ibu pelinting rokok.
Dia mengatakan, jika arah kebijakan terhadap industri tembakau adalah agar mudah diawasi, reguasinya sebaiknya dibuat lebih sederhana.
Peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI) Abdillah Ahsan berpendapat Pemerintah perlu segera menetapkan penggabungan SKM dan SPM pada aturan kebijakan cukai menjadi 3 miliar batang per tahun.
Menurutnya, tarif cukai rokok dibedakan berdasarkan produksinya. Golongan I untuk 3 miliar batang, jadi hanya beda satu batang saja bisa ditekan produksinya untuk masuk golongan II.
"Jadi karena 1 batang, selisihnya ada Rp 600 miliar potensi penerimaan yang hilang. Tidak perlu melindungi perusahaan besar,” ujar Abdillah.