TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengaku masih ada beberapa calon penyelenggara fintech peer to peer (P2P) lending yang mengajukan izin kepada regulator.
Hendrikus Passagi, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, mengatakan, ada sekitar 20 entitas yang siap dan sedang menempuh proses perizinan di OJK.
“Itu yang serius. Lainnya ada sekitar 100 tapi mereka tidak serius. Ketika ditanya siapa pemegang sahamnya, mereka tidak balik lagi," kata Hendrikus, Kamis (24/9/2019).
Hendrikus mengatakan,"Saya tegaskan kalau mau masuk industri ini (P2P lending) harus jelas siapa pemegang saham, komisaris, dan direksinya."
Terkait pemberian tanda daftar, Hendrikus mengatakan, lebih fokus pada seberapa besar dampak inklusi keuangan yang bisa diberikan oleh calon pemain. Dan tidak hanya soal jumlah entitas terdaftar.
Namun, ketika ditanyai mengenai potensi entitas fintech terdaftar dan berpeluang mendapatkan izin, Hendrikus belum banyak berkomentar.
“Tidak ada kendala mengenai proses perizinan. Kami selalu mendorong yang terbaik untuk Industri ini. Kami tidak ingin fintech Indonesia berakhir seperti China yang banyak berguguran. Kami ingin menjaga kesehatan fintech 100 persen,” kata Hendrikus.
Hingga saat ini sudah terdapat 127 entitas fintech P2P lending yang terdaftar di OJK.
Dari jumlah tersebut, baru ada tujuh entitas yang mendapatkan izin dari regulator.
Baca: Fintech Tokomodal Salurkan Pendanaan Modal Inklusi untuk UMKM
Hendrikus mengatakan, fintech P2P lending hadir untuk menciptakan keadilan sosial bagi masyarkat yang masih unbanked and underseve.
Ia menilai kelompok ini kurang beruntung terkait pendanaan di jasa keuangan konvensional.
Kebanyakan dari segmen ini berasal dari UMKM, nelayan, pertanian, pengrajin, dan peternak.
“Ada sekitar 100 juta penduduk yang membutuhkan pendanaan sekitar 70 miliar dollar AS. Sedangkan fintech P2P lending yang sudah terdaftar ada 127, Mereka baru mampu melayani 15 juta penduduk,” kata Hendrikus.