Diketahui, besaran yang diusulkan adalah Rp 42 ribu untuk kelas III, Rp 75 ribu untuk kelas II, dan Rp 120 ribu untuk kelas I.
"Mestinya lebih rendah mungkin, bertahap juga mungkin, tapi kalau lebih tinggi enggak, kita tidak ingin," ujar dia, Senin (7/10/2019).
Sejauh ini pihaknya telah melakukan penyesuaian dan modifikasi dari usulan yang disampaikan, agar program BPJS Kesehatan itu dapat berkelanjutan.
"Kita sudah menghitung ya usulan itu. Kemenkeu melakukan penyesuaian agar suitainable sampai tahun 2025, 5 tahun (tidak ada kenaikan iuran). Kalau di aturan kan naiknya (iuran) 2 tahun sekali. Kalau 5 tahun sekali lebih bagus," jelas dia.
Belum ditandatanganinya aturan tersebut, karena pemerintah masih melakukan pembenahan keseluruhan pada sistem dan regulasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Layanan Tak Terganggu
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memastikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat tetap berjalan, meski program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masih mengalami defisit.
Hal itu diungkapkan Kepala Pusat Pemberdayaan dan Jaminan Kesehatan Kemenkes Kalsum Komaryani dalam acara Diskusi Media FMB 9 dengan topik "Tarif Iuran BPJS" yang diselenggarakan di Kantor Kemenkominfo, Jakarta Pusat, pada Senin (7/10/2019).
"Program JKN ini sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Maka dari itu kami akan terus memperbaikinya. Kami terus memantau rumah sakit untuk pembelian obat-obatan, alkes (alat-alat kesehatan), melakukan review kelas rumah sakit, dan pencegahan fraud," ungkap perempuan yang biasa disapa Yani ini.
Kemenkes sendiri menilai, kondisi defisit yang terjadi sejak 2014 ini menimbulkan efek domino.
Akibatnya, BPJS Kesehatan tidak bisa memberikan biaya kepada fasilitas kesehatan di tingkat pertama maupun tingkat lanjut, penyedia layanan obat dan alkes, yang berujung faskes tidak bisa melayani pengobatan untuk masyarakat.
"Salah satu upaya agar pelayanan kesehatan masyarakat tidak terganggu, Kemenkes dan BPJS melakukan financing supply chain agar pasokan obat dan alat-alat kesehatan tetap tersedia di fasilitas layanan kesehatan," jelas dia.
Ia menerangkan, selama ini pemerintah sudah membahas beberapa opsi dalam mengatasi defisit, seperti menaikkan iuran, mengurangi manfaat layanan kesehatan, serta memberikan subsidi kepada peserta tidak mampu dari alokasi Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD).
"Mengurangi manfaat layanan amat tidak mungkin karena masyarakat masih membutuhkan pelayanan. Apalagi BPJS Kesehatan mencakup semua penyakit dan sudah 233 juta kunjungan ke fasilitas kesehatan memakai BPJS," ungkap Yani.