News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Mari Elka: Ekonomi di Asia Hadapi Tantangan yang Lebih Berat Pada 2020

Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kedua kanan) menerima cenderamata dari Chairman Indonesia Bureau of Economic Research (IBER) Mari Elka Pangestu (tengah), disaksikan Head of the East Asian Bureau of Economic Research (ABER) Peter Drysdale (kedua kiri), Anggota Dewan Kehormatan Bank Indonesia Institute Chatib Basri (kiri) dan Chief Operation Officer The Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) Koji Hachiyama pada acara simposium internasional Asia Trade and Economic Priorities in 2020 yang diselenggarakan IBER, di Jakarta, Selasa (29/10).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Negara-negara di kawasan Asia akan menghadapi tantangan yang lebih berat pada 2020, seiring dengan kian melemahnya perekonomian global sebagai dampak kian meningkatnya ketidakpastian akibat perang dagang Amerika Serikat (AS)-China.

“Ketegangan dalam perdagangan global telah mengganggu arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dan berdampak kepada aliran pasar keuangan dan modal, serta menyebabkan ketidakpastian dalam pelaksanaan kebijakan makro di berbagai negara, terutama di kawasan Asia,” kata Mari Elka Pangestu, direktur dan salah satu founder Indonesia Bureau of Economic Research (IBER) dalam simposium dengan tema Asia’s Trade and Economic Priorities 2020, Selasa (29/10/2019).

Simposium Internasional “Asia’s Trade and Economic Priorities 2020”, yaitu hasil kerja sama IBER dan Asia Bureau of Economic Research (ABER), dan didukung Bank Indonesia Institute, Economic Research Institute for ASEAN and Asia (ERIA), Astra, Sinar Mas dan Tenggara Strategics.

Baca: Kadin Berharap Calon Kapolri Bisa Jamin Stabilitas Keamanan di Pelosok

Baca: Ke Palu, Presiden Jokowi Tinjau Pembangunan Hunian Korban Tsunami

Mari Elka yang pernah menjadi Menteri Perdagangan 2004-2011 mengatakan, situasi perdagangan telah mengancam integrasi pasar keuangan dan menekan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kualitas standar hidup.

“Ancaman terhadap integrasi pasar keuangan menimbulkan ketidakpastian terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi, dan ini akan kian mempersulit pengambilan keputusan dalam kebijakan makro,” kata Mari Elka.

Menurut Mari Elka, negara Asia harus memperkuat kerja sama melalui forum regional dan global seperti APEC, ASEAN, KTT Asia Timur, dan G20 dalam kerangka Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).

Negosiasi RCEP yang mengkonsolidasi perjanjian perdagangan antara ASEAN dengan mitranya yaitu Tiongkok, Jepang, Korea, Australia-Selandia Baru, dan India, diharapkan selesai pada KTT ASEAN minggu depan.

"Perjanjian mega regional dengan 16 anggota akan sangat signifikan dampaknya," kata Mari Elka.

Kerja sama ini tidak hanya akan mendorong pertumbuhan ekonomi, sekaligus juga memperkuat kepercayaan negara-negara Asia dalam menghadapi kekuatan ekonomi lainnya.

RCEP juga akan mengirim sinyal kuat bahwa Asia tetap berkomitmen pada reformasi perdagangan dan keterbukaan, yang dikombinasikan dengan kebijakan domestik.

"Sebagai salah satu perekonomian terbesar di Asia dan pencetus RCEP, Indonesia mempunyai peluang besar memanfaatkan kerja sama mega regional melalui RCEP," kata Mari Elka.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo yang membuka simposium itu mengatakan ada tiga isu utama yang harus dihadapi Indonesia dan negara-negara Asia yakni pelambatan ekonomi global, in-efektivitas kebijakan moneter yang bergantung pada suku bunga serta digitalisasi dan transformasi ekonomi dan finansial.

“Bank Indonesia, bekerja sama dengan pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sedang bekerja keras untuk mendorong lima area kebijakan yang menjadi prioritas kami,” kata Perry Warjiyo.

Perry Warjiyo menjelaskan lima prioritas tersebut yakni memastikan stabilitas dan ketahanan ekonomi; menemukan sumber baru pertumbuhan ekonomi dari sektor manufaktur, pariwisata, dan ekonomi digital; melakukan reformasi yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan infrastruktur, mendorong investasi dan zona ekonomi khusus; terlibat dengan negara-negara lain untuk mempromosikan perdagangan yang lebih terbuka; serta memperkuat kerja sama regional dalam sektor finansial dan jaring keamanan finansial.

Dinamika perekonomian global saat ini telah mempersulit negara di Asia dalam menghadapi tantangan utama yaitu pembangunan berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, perbaikan lingkungan, pengelolaan perubahan iklim, transformasi teknologi yang cepat, dan memperkuat sistem politik dan hukum.

Sebuah studi oleh konsultan Baker dan McKenzie terhadap perusahaan-perusahaan multinasional, menemukan bahwa hampir setengah dari 600 perusahaan yang disurvei membuat perubahan besar pada rantai pasokan mereka dan sekitar 12 persen di antaranya sedang mempertimbangkan perubahan sistem rantai pasoknya secara total.

Ketua ABER Peter Drysdale mengungkapkan, sebagai kawasan yang paling terkena dampak perang dagang AS-Tiongkok, Asia tidak boleh hanya berharap pemulihan kesepakatan dua negara ini. Negara-negara di Asia dan ASEAN, termasuk Indonesia, perlu proaktif menghadapi tantangan global.

Dengan kekuatan ekonomi yang meliputi sekitar 30 persen perdagangan dan PDB dunia, dan setengah populasi dunia, negara Asia mempunyai kekuatan menentukan sendiri arah perdagangan global ke depan.

“Tidak boleh menyerahkan pemulihan perdagangan dunia kepada kesepakatan AS-Tiongkok karena tidak akan menyentuh kepentingan negara-negara Asia, untuk itu kita harus tampil di depan dan melanjutkan keterbukaan pasar dan arus investasi antara kita. Menyerahkan pemulihan perdagangan global kepada AS-China akan menjadi preseden negatif,” kata Peter Drysdale.

Sebagai gambaran, ketidakpastian global telah membuat pertumbuhan perdagangan global turun dari 2017 sebesar 4,6 persen menjadi 2,6 persen sesuai proyeksi akhir tahun 2019.

Selain itu, investasi langsung turun sekitar 72 persen. Sementara IMF telah menurunkan prediksi pertumbuhan dunia dari 3,3 persen menjadi 3 persen untuk 2019.

IBER adalah lembaga yang dibuat untuk memperkuat jaringan ekonom di Indonesia yang melakukan riset mengenai isu strategis. IBER dibentuk oleh 13 perguruan tinggi dan lembaga riset di Indonesia pada Juni 2018 dengan Ketua Dewan Penasihat Boediono, Wakil Presiden RI 2009-2014 dan anggota Dewan Penasihat antara lain Moh. Chatib Basri, Iwan Azis dan Emil Salim.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini