TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sampai 31 Oktober 2019, besaran utang jatuh tempo Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kepada pihak ketiga mencapai sebesar Rp 21,16 triliun.
"Kita sudah utang jatuh tempo Rp 21,1 triliun. Inilah yang kami sampaikan pada rapat terakhir 2 September. Kalau kita tidak melakukan langkah konkret, di akhir tahun kita akan defisit Rp 32 triliun," ujar Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, Rabu (6/11/2019).
Fachmi menjelaskan, utang jatuh tempo ini artinya ketika BPJS Kesehatan belum melakukan pembayaran klaim selama 15 hari sejak verifikasi klaim dilakukan.
Sebelum verifikasi dilakukan, proses pengajuan klaim dari faskes pun dilakukan selama 10 hari.
Fachmi menerangkan, untuk setiap keterlambatan membayar, pihaknya harus membayar denda kepada rumah sakit sebesar 1% setiap bulannya.
Selain utang jatuh tempo, BPJS Kesehatan juga memiliki outstanding claim (OSC) sebesar Rp 2,76 triliun, dimana ini merupakan klaim yang telah ditagihkan ke BPJS Kesehatan dan dalam proses verifikasi.
Kemudian, utang yang belum jatuh tempo sebesar Rp 1,71 triliun.
Berdasarkan proyeksi defisit cashflow dana jaminan sosial 2019, diperkirakan gagal bayar BPJS Kesehatan pada Oktober mencapai Rp 23,2 triliun, meningkat menjadi Rp 28,4 triliun di November dan menjadi Rp 32,8 triliun hingga akhir tahun.
Defisit Tahun Depan Membengkak Rp 39,5 Triliun
Defisit BPJS Kesehatan bisa membengkak lebih besar bila tidak ada upaya perbaikan yang dilakukan.
Diperkirakan, di tahun mendatang defisit bisa mencapai Rp 39,5 triliun, di 2021 sebesar Rp 50,1 triliun, di 2022 sebesar Rp 58,6 triliun, dan di 2023 sebesar Rp 67,3 triliun.
"Kalau kondisi iuran tetap, masyarakat semakin sadar untuk menikmati pelayanan kesehatan dan normalitas dari tingkat utilitasi itu mencapai puncak, kalau kita tidak melakukan upaya yang fundamental, di akhir 2024 kita akan defisit Rp 77 triliun," tutur Fachmi.
Fachmi mengatakan, pemerintah memiliki tiga pilihan untuk mengatasi permasalahan BPJS Kesehatan.
Pilihan tersebut antara lain rasionalisasi iuran sesuai hitungan aktuaria, rasionalisasi manfaat yang diberikan, dan suntikan dana tambahan.
Pemerintah juga telah memilih untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan dengan menerbitkan Perpres No. 75 tahun 2019.
"Dengan ada perpres 75/2019, paling tidak dengan ada rasionalisasi hitungan aktuaria itu, di segmen PBI kita bisa mengurangi defisit, atau paling tidak menurunkan persoalan telat bayar menjadi angka yang lebih rendah," kata Fachmi.
Reporter: Lidya Yuniartha
Artikel ini tayang di Kontan dengan judul Utang jatuh tempo BPJS Kesehatan hingga Oktober mencapai Rp 21,16 triliun