TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan belum menyepakati usulan revisi Peraturan Pemerintah 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi kesehatan seperti usulan Kementerian Kesehatan.
Asisten Deputi Pengembangan Industri Kemenko Perekonomian Atong Soekirman menyatakan, pihaknya perlu melihat usulan kebijakan baru tersebut dari berbagai aspek, termasuk dari sisi industri dan penerimaan negara.
"Jadi begini, untuk posisi Kemenko (Perekonomian), kita melihat kebijakan ini dari tiga sisi ya. Dari sisi penerima negara, kita akan bicara juga untuk industrinya. Kemarin, beberapa kali pertemuan dengan pihak inisiator BPOM, Kemenkes, Kemenperin. Kita belum menemukan kata sepakat untuk melakukan revisi sebagaimana yang diusulkan Kemenkes," ungkap Atong Soekirman seperti dikutip dari keterangannya.
Baca : Jelang Penutupan Pendaftaran CPNS 2019, 50 Formasi Pemprov Ini Sepi Peminat, Bahkan Ada Masih Kosong
Atong menjelaskan, dalam rapat yang telah dilakukan di kantor Menko Perekonomian dan dipimpin oleh Deputi Menko Perekonomian, pihaknya telah menyampaikan hal-hal terkait dengan revisi PP 109/2012.
"Jadi belum ada kata sepakat dari beberapa pihak tadi," jelasnya.
Atong menyatakan, saat ini industri hasil tembakau tinggal bersisa sekitar 500 perusahaan dari sebelumnya mencapai 2.000 perusahaan dan kemudian merosot lagi menjadi 1.000 perusahaan.
"Apabila kita mengeluarkan kebijakan yang keliru, ini akan berdampak pada industrinya itu sendiri. Berdampaknya pada tenaga kerja. Di Menko Perekonomian juga melihat sisi tenaga kerja, menyangkut pengangguran dan menyangkut PDB (produk domestik bruto) di daerah dan secara nasional, jadi kemarin itu blm ada kata sepakat," je;asnya.
Dia menambahkan, dalam beberapa tahun terakhir, IHT terus mengalami banyak tekanan dari berbagai sisi, khususnya regulasi yang berlebihan. Baru-baru ini terbit PMK No. 152/2019 berupa kenaikan tarif cukai sebesar 23% dan harga eceran sebesar 35% yang akan diberlakukan mulai Januari 2020.
Kenaikan ini merupakan kenaikan tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir.
Tekanan pada industri ini dikhawatirkan mengancam seluruh mata rantai produksi yang terlibat, mulai dari tenaga kerja dan bisnis di bidang perkebunan, baik itu para petani tembakau dan cengkih; para tenaga kerja pabrikan; hingga pekerja dan pemilik toko ritel; serta lini usaha lain yang terkait.
Selama lima tahun terakhir, terdapat lebih dari 90.000 tenaga kerja pabrikan yang telah mengalami PHK. Angka ini dikhawatirkan akan terus bertambah sejalan dengan ketidakpastian hukum yang membayang-bayangi industri padat karya ini.
Atong menambahkan, PP 109/2012 yang saat ini diberlakukan masih relevan.
Dia menyatakan, Kementerian Kesehatan perlu melihat pasal - pasal yang sifatnya wajib namun belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik pada PP tersebut sebagai prioritas. Antara lain menyangkut program menurunkan prevalensi anak terhadap rokok.
Sementara itu, Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) M Nur Azami berpendapat, usulan revisi PP 109 akan mengancam eksistensi Industri Hasil Tembakau (IHT), baik dari sisi keberlangsungan usaha maupun penyerapan tenaga kerja.
Dia menyatakan usulan revisi PP 109/2012 belum pernah disosialisasikan kepada stakeholder di sektor IHT dan belum dijelaskan mengenai pasal-pasal yang akan direvisi.
Nur menambahkan, selama ini regulasi tentang produk hasil tembakau sudah cukup ketat di Indonesia karena mengatur promosi produk, iklan, serta tidak menjangkau anak di bawah umur.