News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Turunkan Tarif Tiket Pesawat Tanpa Kajian Dinilai Bisa Membahayakan Penerbangan

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi tiket pesawat.

Dia memberikan contoh, penerbangan Jakarta-Yogyakarta yang dulunya hanya butuh waktu 45 menit, sekarang rute ini bisa menghabiskan 1 jam 5 menit, sehingga konsumsi avtur naik hampir 50%.

Bambang Haryo mengatakan, kemampuan Airnav harus segera ditingkatkan karena produktivitas runway bandara komersial sangat rendah.

Bandara Soekarno-Hatta Jakarta hanya bisa melayani tidak lebih dari 30 take off dan landing pesawat per runway per jam. Sebagai perbandingan, Bandara Heattrow Inggris bisa mencapai 100 take off landing per jam per runway.

Selain itu, waktu tunggu pesawat masih terlalu lama sehingga maskapai harus membayar banyak biaya tambahan.

“Penumpang sering kali menunggu lama di dalam pesawat sebelum terbang. Penyelenggara trafik angkutan udara sangat lamban, avtur menjadi boros dan produktivitas maskapai rendah.”

Ketiga, tiket pesawat mahal karena pemerintah tidak menyiapkan bandara khusus untuk maskapai low cost (LCC) sehingga terjadi pemborosan sangat besar. LCC wajib menggunakan terminal, apron dan runway untuk maskapai full service.

“Masyarakat dirugikan karena harus bayar pajak bandara dan semua fasilitas pembelian selama di terminal dengan harga komersial untuk maskapai full service,” kata Bambang Haryo.

Kondisi ini juga merugikan maskapai full service karena kesulitan pelayanan akibat banyaknya pesawat LCC yang mendarat di terminal yang sama. Campur aduk antara LCC dan full service ini membuat bandara padat sehingga tarif menjadi tidak menentu.

Keempat, tarif tinggi karena masyarakat sulit mendapatkan tempat duduk karena kapasitas pesawat yang tersedia terbatas di rute-rute gemuk, terutama pada saat musim padat penumpang (peak season).

Kondisi ini disebabkan semua maskapai menggunakan pesawat kecil (narrow body) di rute gemuk tersebut.

“Seharusnya rute gemuk seperti Jakarta, Surabaya, Bali, Medan, Makassar, saat peak season menggunakan pesawat wide body sehingga ada keseimbangan antara supply dan demand,” ungkapnya.

Yang mengherankan, regulasi ini diterapkan di kapal ferry tetapi dengan tarif sangat murah. Bahkan, saat musim sepi penumpang pun penyeberangan diwajibkan operasikan kapal di atas 5.000 GT.

Faktor kelima, lanjut Bambang Haryo, birokrasi dan perizinan cenderung highly regulated sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi.

“Jadi tidak heran, walaupun Airasia menjual tiket murah di Indonesia tapi bisa untung di atas Rp1,5 trilun tiap tahun, karena lebih banyak beroperasi di luar negeri yang tidak terjadi ekonomi biaya tinggi,” ujarnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini