Laporan Wartawan Tribunnews.com, Lita Febriani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Serangan militer Amerika Serikat (AS) pada Jumat (3/1/2020) di Baghdad menewaskan seorang Komandan Pasukan Quds, Mayor Jenderal Qassem Soleimani.
Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei bahkan mengatakan akan melakukan serangan balasan terhadap Amerika.
Baca: Ketegangan Iran-AS: Ali Khamenei Berang, Ancaman Trump Hingga Sikap Indonesia
Ia juga telah mengumumkan hari berkabung nasional selama tiga hari.
Serangan yang dilakukan Amerika terhadap negara Timur Tengah tersebut membuat harga minyak dunia naik.
Pada perdagangan hari Jumat, harga minyak brent kontrak acuan terapresiasi 3,55 persen ke level US$ 68,6/barel.
Sementara harga minyak mentah WTI kontrak acuan menguat hingga 3,06 persen ke level US$ 63,05/barel.
Ekonom Indef, Abra Talattov mengatakan jika kondisi ketegangan antara AS - Iran terus berlanjut juga akan berpengaruh pada neraca perdagangan Indonesia.
"Pertama dampak langsungnya dari sisi neraca perdagangan kita di sisi Migas. Karena kemarin baru satu hari serangan Amerika ke Iran saja harga minyak sudah naik 3,5 persen yang brand atau WTI," tutur Abra kepada Tribunnews, Minggu (5/1/2020).
Kondisi yang semakin memanas dan indikasi serangan balik Iran terhadap AS pun dinilai akan semakin memperkuat sentimen global.
"Nah ini harus diantisipasi oleh pemerintah karena ketika harga minyak dunia naik terlalu tajam, otomatis akan berpengaruh ke neraca perdagangan kita di sisi Migas karena impor minyak kita kan masih terlalu besar, sekitar 1 juta barel perhari, untuk menutup defisit produksi kita," terangnya.
Pengaruh lainnya ialah meningkatknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Impor Indonesia terhadap minyak dunia yang besar secara otomatis akan meningkatkan kebutuhan terhadap dolar yang besar pula.
Selain itu, akan ada kekhawatiran para investor untuk mencari lokasi yang lebih aman.
Harga komoditas emas juga akan turut terkerek naik dengan situasi yang memanas antara AS - Iran.
"Ada kekhawatiran investor akan mencari lokasi yang lebih aman, salah satunya negara-negara tax haven dan juga komoditas emas. Makanya harga emas beberapa hari ini melonjak karena investor global mulai khawatir juga nih," kata Abra.
Negara tax haven adalah negara-negara yang dengan sengaja memberikan fasilitas perpajakan kepada wajib pajak negara lain agar penghasilan wajib pajak negara lain tersebut dialihkan ke negara mereka.
Negara penganut tax haven ini biasanya mengenakan pajak yang lebih rendah atau tidak mengenakan pajak sama sekali.
Tak hanya itu, ketegangan ini juga akan berpengaruh pada pasar modal Tanah Air.
"Nanti dampaknya terhadap nilai tukar kita dan IHSG pasar modal kita," ungkapnya.
Abra memprediksi kenaikan harga minyak dunia akan terus berlanjut pada perdagangan Senin esok.
"Kemarin Jumat baru 3,5 persen. Kalau kita buka Senin besok itu tergantung lempar-lemparan statement kedua negara itu. Tetapi kenaikan harga minyak dunia akan berlanjut. Karena memang tergantung digoreng-goreng juga statementnya di pasar komoditas, takut berkecamuk," jelasnya.
Menurut Abra, Indonesia juga harus belajar dari sejarah Perang Teluk sebelumnya untuk mengantisipasi situasi ke depan.
"Misalnya yang paling besar itu perang Amerika dan Irak tahun 2004. Itu harga minyak bisa naik 10 dolar AS dalam satu hari. Kalau kemarin kan naiknya baru sekitar 3 dolar AS. Ini langsung 10 dolar karena langsung perang. Nah itu bisa jadi catatan juga," imbuhnya.
Baca: Babak Baru Trump Vs Iran: Situs Pemerintahan AS Diretas, Ada Gambar ''Potus'' Dipukul
Ekonom Indef tersebut juga tak dapat memprediksi seberapa besar kenaikan akan terjadi jika situasi terus berlanjut.
"Kenaikan ini ngga bisa diprediksi. Bisa tiba-tiba naik 20 persen, bisa 30 persen. Tergantung situasinya sejauh mana," jelas Abra.