TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di balik keputusan Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan (BI-7 Days Reserve Repo Rate), dinilai merugikan PT Bank Tabungan Negara. Labanya dikhawatirkan tergerus.
Achmad Deni Daruri, Presiden Direktur Center for Banking Crisis (CBC), menilai, keputusan BI menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) dari 5% menjadi 4,75%, kurang tepat.
"Terkesan kuat Bank Indonesia mengabaikan fakta bahwa likuiditas perbankan di Indonesia sudah sangat ketat," tegasnya di Jakarta, Senin (24/2/2020).
Baca: Leticia Charlotte, Anak Sheila Marcia Rayakan Ultah ke-10, Dapat Ucapan Manis & Doa dari Anji Manji
Baca: Disebut Miliki Aura Bintang, Tiara Anugrah Siap Harumkan Nama Jember di Grand Final Indonesian Idol
Baca: 4 Kisah Paling Misterius di Dunia, di Antaranya Benteng Gunung dan Orang Bermata Bulan
Selanjutnya Deni menyebut Bank BTN sebagai salah satu contoh. "Lihatlah permasalahan yang dihadapi oleh Bank BTN yang disebabkan oleh Loan to Deposit Ratio (LDR) yang sudah diatas 111 persen yang pada gilirannya menghantam labanya," ungkaonya.
Masih kata Deni, dampak negatif dari penurunan tingkat suku bunga acuan, kerap diabaikan BI. Hal ini dapat terjadi, karena pembuat kebijakan moneter menganggap cost capital sebagai paradigma utama kebijakan tingkat suku bunga, dalam konteks penyaluran pinjaman dan bukan memperhitungkan suku bunga pinjaman dan suku bunga tabungan sebagai sistem bejana berhubungan yang tak terpisahkan.
Selain itu, lanjutnya, penurunan tingkat suku bunga BI semakin menghilangkan kesadaran bahwa penurunan tingkat suku bunga seakan-akan tidak berbahaya dan bahkan terpuji untuk dilakukan.
"Dalam hal ini, BI sangat konservatif tanpa memahami esensi penurunan tingkat suku bunga itu sendiri. Apa yang dilakukan BI dapat dikatakan sebagai langkah latah, mengekor apa yang dilakukan otoritas moneter RRC yang menurunkan tingkat suku bunga, karena krisis corona virus," ungkapnya.
Berdasarkan hasil estimasi ekonometrik, kata dia, memperlihatkan bahwa penurunan tingkat suku bunga bagi perekonomian Indonesia melahirkan enam masalah baru.
Pertama, penurunan suku bunga BI memberikan dampak kepada tingkat suku bunga mengalami tren penurunan secara akumulatif dari kuartal pertama hingga kuartal keduabelas.
"Kedua, penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia akan memberikan dampak negatif secara akumulatif bagi pertumbuhan ekonomi pada kuartal ke-delapan hingga kuartal kedua belas,di mana akumulasinya penurunan yang semakin dalam dengan berjalannya waktu," ungkapnya
Ketiga, tutur Deni, penurunan tingkat suku bunga BI memberikan dampak negatif secara akumulatif bagi konsumsi swasta pada kuartal ketujuh hingga kuartal keduabelas dengan akumulasi penurunan yang semakin dalam dengan berjalannya waktu.
"Dengan demikian, penurunan tingkat suku bunga terlebih dahulu memukul konsumsi swasta sebelum akhirnya memukul pertumbuhan ekonomi," tuturnya.
Keempat, penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia akan membuat Financial Account dalam Balance of Payments menjadi deficit secara akumulatif dari kuartal pertama hingga kuartal kesebelas dengan puncak deficit terjadi pada kuartal keempat.
Kelima, penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia akan menekan Current Account dalam Balance of Payments untuk menjadi defisit.
"Tekanan defisit tersebut secara akumulatif menjadi semakin besar dengan berjalannya waktu. Berbeda dengan Financial Account yang puncak defisitnya terjadi pada kuartal keempat, pada Current Account puncak defisitnya terus bergerak meninggi dengan berjalannya waktu,: beber Deni,
Keenam, masih kata Deni, penurunan suku bunga BI membuat real effective exchange rate Indonesia semakin tidak kompetitif secara akumulatif pada kuartal keempat hingga keenam.
"Periode paling tidak kompetitifnya terjadi pada kuartal ketiga,' ungkapnya.