TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Harga minyak dunia anjlok sekitar 30% pada hari Senin (9/3/2020).
Kondisi ini terjadi setelah Arab Saudi memangkas harga dan menetapkan rencana meningkatkan secara dramatis produksi minyak mentah di bulan April.
Melansir Reuters, harga minyak turun sebanyak sepertiga menyusul langkah Arab Saudi untuk memulai perang harga setelah Rusia menolak memangkas produksi yang diusulkan oleh OPEC untuk menstabilkan pasar minyak yang dilanda kekhawatiran atas penyebaran global virus corona.
Data yang dihimpun Reuters menunjukkan, harga minyak mentah berjangka jenis Brent turun US$ 13,29, atau 29% menjadi US$ 31,98 per barel pada 0433 GMT.
Pada transaksi sebelumnya, harga minyak sempat melorot ke posisi US$ 31,02, terendah sejak 12 Februari 2016.
Baca: BREAKING NEWS! Singapura Umumkan Satu Lagi WNI Positif Virus Corona
Harga minyak Brent berjangka berada di jalur penurunan harian terbesar sejak 17 Januari 1991, pada awal Perang Teluk pertama.
Sementara, harga minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) turun US$ 13,29, atau 32%, menjadi US$ 27,99 per barel, setelah sebelumnya sempat menyentuh US$ 27,34, terendah sejak 22 Februari 2016.
Baca: Corona Makin Mencemaskan, Arab Saudi Isolasi Wilayah Qatif, Sekolah Ditangguhkan
Harga acuan minyak mentah AS ini berpotensi menuju penurunan terbesar dalam catatan sejarah, yakni melampaui 33% yang terjadi pada Januari 1991.
"Saya pikir semua perkiraan ada di luar sana," kata Jonathan Barratt, kepala investasi di Probis Securities di Sydney kepada Reuters.
Baca: Dihantui Corona: Gereja-gereja di AS Berlakukan Larangan Pelukan dan Jabat Tangan
"Ini sepertinya berlomba ke level bottom untuk mengamankan pesanan," lanjutnya.
Disintegrasi pengelompokan yang disebut OPEC + - yang terdiri dari OPEC plus produsen lain termasuk Rusia - mengakhiri lebih dari tiga tahun kerja sama dalam mendukung pasar.
Yang terbaru, mereka bekerjasama untuk menstabilkan harga di bawah ancaman dari dampak ekonomi akibat wabah virus corona.
Dua sumber mengatakan kepada Reuters pada hari Minggu, Arab Saudi berencana meningkatkan produksi minyak mentahnya di atas 10 juta barel per hari (bph) pada bulan April setelah kesepakatan untuk membatasi produksi berakhir pada akhir Maret.
Eksportir minyak terbesar dunia itu sepertinya berusaha menghukum Rusia, produsen terbesar kedua di dunia, karena tidak mendukung pemangkasan produksi yang diusulkan minggu lalu oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).
Arab Saudi, Rusia, dan produsen besar lainnya terus berjuang untuk kembali meraih pangsa pasar seperti periode 2014 dan 2016 untuk mencoba menjegal minyak Amerika Serikat.
Kini, produsen AS yang telah tumbuh menjadi produsen minyak terbesar di dunia karena aliran dari ladang minyak serpih menggandakan produksinya dalam lebih dari satu dekade terakhir.
"Ini jelas merupakan awal dari perang harga, dan Saudi cepat bereaksi selama akhir pekan, mengurangi harga jual resmi April untuk minyak mentah secara signifikan," kata ING Economics dalam sebuah catatan.
Arab Saudi selama akhir pekan juga memangkas harga jual resminya untuk bulan April untuk semua nilai minyak mentah ke semua tujuan antara US$ 6 dan US$ 8 per barel.
Permintaan dampak virus
Sementara itu, upaya China untuk mengurangi wabah virus corona telah mengganggu ekonomi terbesar kedua di dunia dan membatasi pengiriman ke negara importir minyak terbesar.
Dan penyebaran virus ke negara dengan ekonomi utama lainnya seperti Italia dan Korea Selatan dan meningkatnya jumlah kasus di Amerika Serikat telah meningkatkan kekhawatiran bahwa permintaan minyak akan merosot tahun ini.
Bank-bank besar seperti Morgan Stanley dan Goldman Sachs telah memangkas perkiraan pertumbuhan permintaan minyak.
Morgan Stanley, misalnya, memprediksi China akan memiliki pertumbuhan permintaan nol pada tahun 2020.
Sedangkan Goldman melihat kontraksi 150.000 bph dalam permintaan global.
Goldman Sachs memangkas perkiraan harga minyak jenis Brent menjadi US$ 30 untuk kuartal kedua dan ketiga tahun 2020.
Laporan: Barratut Taqiyyah Rafie
Artikel ini tayang di Kontan dengan judul Kondisi ini terjadi setelah Arab Saudi memangkas harga dan menetapkan rencana meningkatkan secara dramatis produksi minyak mentah di bulan April.