TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Ketenagakerjaan melakukan sosialisasi Omnibus Law secara masif dan terstruktur kepada kalangan pekerja di Indonesia, termasuk pekerja kreatif dan content creator yang didominasi oleh kalangan milenial, dan pengusaha muda kalangan ibu-ibu hijaber.
Tujuannya, agar masyarakat secara luas memahami secara detail manfaat omnibus law untuk perlindungan pekerja dalam menghadapi persaingan gobal.
"Omnibus Law adalah metode menyinkronkan beberapa undang-undang sejenis supaya menjawab dinamika perkembangan zaman dan tidak kontradiktif antara undang-undang yang satu dengan lainnya," kata Agatha Widianawati, Kepala Bagian Hukum dan kerjasama Luar Negeri Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dalam Seminar "Omnibus Law Cipta Kerja dan Prospeknya bagi Content Creator dan Pekerja Sektor Kreatif", di Hotel March, Pasar Baru, Jakarta Pusat, Rabu (11/3/2020).
Selain Agatha, panitia penyelenggara seminar juga menghadirkan Content Creator, Mantan Wartawan Edy Budyarso, dan Praktisi Komunikasi Rahmat Edi Irawan.
Bertindak sebagai moderator Indra Prawira, Ph.D.
"Jumlah pengangguran yang mencapai 7 juta lebih, merupakan salah satu tantangan yang harus dijawab oleh pemerintah dengan tindakan-tindangan nyata," kata Agata.
Rahmat Edi Irawan menyampaikan sosialisasi omnibus law ini perlu dilakukan secara masif dan terstruktur.
Masif dalam arti secara terus menerus dan menjangkau semua khalayak pekerja, baik yang di perusahaan mikro, kecil, menengah dan pekerja kreatif serta ibu-ibu hijaber yang bekreja di rumah melalui jaringan media online.
Hal ini dimaksudkan agar semua khalayak pekerja dapat memahami secara utuh tentang maksud pemerintahan Jokowi ini mengeluarkan kebijakan omnibus law.
Baca: Debat soal Ahok, Ali Ngabalin Kesal Lihat Fadli Zon Tunjukkan Fotonya saat Demo : Kau Membenci Saya
Baca: 7 Hal Penting tentang Virus Corona: Penyebaran dan Perlindungan
"Omnibus Law merupakan rencana Presiden Jokowi menangkis berbagai hambatan untuk penciptaan lapangan kerja," ujar Praktisi Komunikasi Media Rahmat Edi Irawan yang biasa dipanggil dengan akronim namanya REI.
Edy Budiyarso menyebut Indonesia sedang menghadapi tantangan internal dan internasional.
"Jumlah pengangguran mencapai lebih dari 7 juta jiwa, dan angkatan kerja baru membutuhkan langkah-langkah pemecahan oleh Pemerintah, termasuk situasi perekonomian dunia yang sedang mengkerut," kata Edy yang menyoroti peluang dunia kreatif Indonesia untuk membaca keadaan ini sebagai peluang.
Sebab, tambah Edy, Indonesia memiliki bonus demografi yang sangat besar, dan pada saat yang sama Jepang sedang sun set karena masyarakatnya didominasi oleh kelompok usia tidak produktif.
"Omnibus Law disusun untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut dan mengkapitalisasi peluang positif secara ekonomi untuk kesejahteraan Indonesia," kata Edy Budyarso.
Salah satu langkah konkret untuk mengatasi pengangguran adalah dengan membuat situasi yang kondusif untuk investasi dengan menyinkronkan pasal-pasal perundang-undangan yang kontradiktif dengan menggunakan metode omnibus.
Termasuk di dalam penggabungan undang-undang sejenis itu, kata Agata, bagaimana menjawab perkembangan teknologi yang menghilangkan peran tenaga kerja manusia secara massif.
Menurut Agatha, ada tiga hal yang harus dilindungi terkait tenaga kerja: Pertama, sudah lulus tapi belum dapat pekerjaan, ini masuk program Kartu Pra Kerja.
Kedua, yang sudah bekerja dan harus dijaga, ketiga, yang di-PHK, dan harus dilindungi hak-haknya.
"Mereka yang menolak Omnibus Law karena mendapat informasi tidak utuh. Selain memangkas kontradiksi, Omnibus Law Cipta Kerja mengatur perlindungan tenaga kerja yang belum diatur di Undang-undang nomor 13 tahun 2003," kata Agata menjawab pertanyaan Jessica, salah satu dari sekitar 120 orang peserta diskusi.
Baca: Pemain Chelsea, Callum Hudson-Odoi Terjangkit Virus Corona
Baca: Khawatir Virus Corona, Tempat Hiburan Paling Populer di AS Broadway Ditutup
Ketentuan jam kerja 7 jam untuk 6 hari kerja, kata Agata, itu belum terakomodasi dalam Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Teman-teman yang bekerja di sektor kreatif secara upah lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya, namun mereka belum mendapatkan perlindungan dari Undang-undang," kata Agata.
"Kami yang menjadi pelaku dunia kreatif, bekerja tidak seperti pekerja konvensional. Menggarap pekerjaan yang butuh penyelesaian cepat di kafe, saat kongko minum kopi. Kalau di kantor, malah tidak kelar. Bekerja paruh waktu lebih tepat dengan pendekatan seperti itu, tapi maksimal, dan sebagai pengelola kami berani membayar lebih besar dibandingkan pekerjaan konvensional," jelas Edy.
Terkait kerja paruh waktu, yang berperan besar menggerakkan perekonomian, Agatha mengatakan jam kerja paling lama 8 jam.
"Ini memberikan ruang bagi pekerja kreatif untuk membuat kesepakatan jam bekerja kurang dari 8 jam," ujarnya.
Perhitungan jaminan sosial jika bekerja kurang dari 8 jam dalam 5 hari kerja, lanjut Agatha, merupakan persoalan yang ingin disesuaikan dan atur dalam Omnibus Law.
Lalu bagaimana dengan pasal-pasal dalam Undang-undang yang tidak diutak-atik dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja?
Menurut Agatha, pasal-pasal tersebut dengan sendirinya tetap berlaku. (*)