TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Pertanian (Kementan) melakukan berbagai upaya dalam stabilisasi harga dan mengamankan pasokan bahan pokok.
Khusus beberapa komoditas hortikultura yang memiliki permintaan tinggi di pasar, namun produksi dalam negeri kurang, Kementan sudah menerbitkan rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) guna mengamankan stok pangan sehingga tidak ada kelangkaan komoditas tertentu di pasar.
Tentang hal ini, Kompartemen Tanaman Pangan, Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi), Tri Febrianto menilai percepatan penerbitan rekomendasi teknis dan persetujuan impor, yakni RIPH tersebut merupakan langkah yang tepat guna menjamin ketersediaan pangan dalam negeri.
Pasalnya, komoditas yang diatur dalam RIPH seperti bawang putih adalah komoditas yang bergantung pada impor.
Baca: Garuda Masih Terbangi Rute ke Australia dan Belanda
Baca: Peneliti ITB Prediksi Puncak Penyebaran Corona di Indonesia Pertengahan April 2020
"Dengan demikian, harga komoditas pangan menjadi stabil, bahan baku atau bahan penolong industri terjaga, bahan baku pakan ternak tersedia dan bahan pangan lainnya yakni bawang bombay, kentang dan buah yang tidak produksi dalam tersedia. Alhasil, inflasi terkendalikan," demikian dikatakan Tri yang akrab disapa Buyung di Jakarta, Kamis (19/3/2020).
Melansir data Kementan per 10 Maret 2020 sudah menerbitkan 18 dokumen RIPH khusus bawang putih dengan volume 196.294 ton, namun alokasi perizinan impor (PI) baru terbit 6 dokumen saja dengan volume 34.825 ton atau sekitar 17,7 persen dari RIPH yang sudah diterbitkan.
“Menurut data dalam 4 tahun terakhir terjadi disparitas angka RPIH, alokasi Persetujuan Impor Kemendag dan realisasi Impor. Bisa jadi ini salah satu penyebab sering munculnya kenaikan harga di pasaran,” beber Buyung.
Sebagaimana data BPS sebelumnya, tahun 2019 Kementan telah menerbitkan RIPH sebanyak 75 dokumen dengan volume impor 760.922 ton, sedangkan alokasi PI yang terbit 528.789 ton (sekitar 69,4 persen dari RIPH), namun realisasi impor sebesar hanya 465.344 Ton (sekitar 61,1 persen dari RIPH).
Upaya Menjaga Stok Gula di Pasar
Buyung pun memberikan apresiasi upaya Kementan yang berkomitmen memacu pertumbuhan industri gula untuk memenuhi pasar domestik.
"Impor gula sudah tidak membutuhkan rekomendasi Kementan sesuai keputusan Menko perekonomian. Bahkan 495 ribu ton mestinya sudah masuk dari Januari, karena izinnya cukup dari Kemendag," tegasnya.
"Sehingga semestinya Kemendag mempercepat proses impor gula untuk menjaga kondusivitas ekonomi nasional," tambah Buyung.
Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat bahwa PI yang diterbitkan tahun 2020, merekomendasikan beberapa perusahaan untuk melakukan impor.
Diantaranya PT. Kebun Tebu Mas mendapat volume impor sebesar 35.000 ton, PT.Adikarya Gemilang sebesar 30.000 ton, PT Kebon Agung sebesar 21.422 ton, PT Rejoso Manis Indo sebesar 20.000 Ton, PT Prima Alam Gemilang sebesar 50.000 ton.
Selain itu juga, PT.Gendhis Multi manis mendapat volume sebesar 29.750, PT Sukses Mantap Sejahtera sebesar 20.000 ton, serta PT Madu Baru sebesar 10.000 ton.
Namun nyatanya meski rekomendasi sudah dikeluarkan Kemenperin pada bulan Januari, realisasi impor sampai dengan Maret 2020 hanya mencapai 30.000 Ton, dikarenakan adanya keterlambatan penerbitan PI Kemendag.
Hingga 18 Maret 2020 Kemendag mengambil keputusan untuk mengambil kebijakan impor gula, bahkan juga akan membebaskan persetujuan izin impor untuk komoditas bawang putih dan bawang bombay hingga 31 Mei 2020.