Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, kewenangan untuk melakukan merger perbankan bisa menjadi sentimen positif saat pandemi Covid-19 atau corona.
Kewenangan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan.
"Beberapa hal yang dimuat dalam Perppu, terutama mengenai merger itu adalah sebenarnya hanya untuk payung apabila nanti ada hujan. Masyarakat dan stakeholder bisa positif sentimennya karena yakin bahwa ternyata otoritas siap kalau terjadi yang tidak diinginkan," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso saat rapat virtual bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Senin (6/4/2020).
Baca: Doni Monardo Apresiasi Berbagai Pihak yang Memberikan Donasi untuk Tim Medis
Baca: Tebar Optimisme ke DPR, BI: Rupiah Bisa Menguat ke Rp 15.000 per Dolar AS Hingga Akhir 2020
Kewenangan untuk melakukan merger lebih dini itu, lanjutnya, tidak perlu lagi menunggu berbagai skema pengawasan lebih dulu hingga satu tahun.
"Kalau tidak dilakukan itu pemilik dan pengurus bank masih bisa punya ruang untuk menunggu sampai pengawasan intensif itu bisa sampai 12 bulan. Bahkan ada ruang pengawasan khusus, nah ini semua bisa kita percepat," kata Wimboh.
Menurutnya, percepatan perlu dilakukan karena tidak ada yang tahu kedepan seperti apa supaya masyarakat tidak menjadi panik menarik dana dari perbankan.
"Kalau terlalu lama kita khawatir kepercayaan masyarakat bisa terganggu, ini menjadi semakin sulit kita untuk menyangganya. Kalau kepercayaan masyarakat terganggu, akhirnya juga likuiditas perbankan bisa terganggu karena orang pada ngambil uangnya, ini yang kita hindari," kata dia.
Kendati demikian, Wimboh mengaku, tidak menginginkan itu terjadi karena sentimen di sektor keuangan sekarang sedang tidak kondusif.
"Sentimen negatif telah terjadi di sektor keuangan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 26,61 persen, tapi seluruh dunia sama," tuturnya.
Anjloknya pasar saham itu dinilainya akibat dana asing keluar hingga Rp 10,7 triliun, sama halnya di pasar Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 129,1 triliun.
"Jadi, sentimen negatif itu sudah betul-betul terjadi. Nah ini yang kemarin kita lakukan hanya sekadar memperhalus agar penurunan itu tidak panjang dan tidak cepat," pungkas Wimboh.