TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam kondisi sulit saat ini, pemerintah sebaiknya tidak mengeluarkan kebijakan menaikkan cukai ataupun pajak, baik cukai rokok maupun cukai-cukai produk lainnya yang jadi sorotan belakangan ini.
Sebab kebijakan tersebut hanya pantas dikeluarkan kalau kondisi ekonomi dan negara dalam keadaan stabil.
Sementara saat ini negara sedang menghadapi masalah ekonomi dan masalah kesehatan yang mengancam keselamatan jiwa manusia.
Yakni dengan masih merebaknya wabah corona atau covid-19. Bukan hanya terjadi di Indonesia tapi juga hampir di seluruh dunia.
Untuk menjaga stabilitas ekonomi ini pemerintah harus melindungi seluruh sektor ekonomi. Jika ada perusahaan yang masih bisa melakukan eksport maka dipersilahkan dan diberikan insentif.
“Niat menaikkan cukai, pajak, dan sebagainya itu kan asumsi sebelum (terjadi wabah) corona. Jadi mengapa dipertahankan? (kebijakan tersebut) Sekarang sudah tidak relevan. Jangan hanya rokok saja yang dibicarakan, tapi seluruh sektor industri lainnya, karena ini tidak relevan, bahkan harusnya diberi insentif,” tegas Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor ( FEM IPB) Prof Dr Didin S Damanhuri, Selasa (7/4/2020).
Baca: Dampak Covid-19, Moodys Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI 2020 Terendah Sejak 1998
Menurut Didin S Damanhuri, sekarang ini yang paling penting negara menyelamatkan warga yang kemiskinan ekstrimnya mencapai 25 juta dan yang hampir miskin itu mencapai 50% atau 130 juta (jiwa) itu.
Sebab pemulihan maupun pertumbuhan ekonomi di Indonesia sangat bergantung pada keberhasilan pemerintah menangani penyebaran Covid 19.
Juga sangat tergantung kepada keberhasilan kita maupun negara negara lain menemukan obat anti atau vaksin Covid 19.
“Jadi, bahasanya, pemerintah harus melawan corona dan dampak ekonominya. Jadi jangan lupa, kalau kita berhasil melawan corona itu adalah recovery strategy juga untuk ekonomi,” ujar Didin S Damanhuri.
Menurut Didin S Damanhuri, untuk Indonesia, selain kita tergantung pada obat anti Covid dari Amerika atau Cina yang tidak mudah ditemukan, juga tergantung dari efektiftas penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ditetapkan pemerintah.
Untuk PSBB kita memiliki problem efektivitas penggunaan dan penyerapan dana PSBB sebesar Rp 70 triliun untuk melawan corona ini apakah tepat sasaran dan tidak bocor.
“Jadi problemnya adalah 2 variabel, variabel efektivitas PSBB yang dananya relatif kecil dibanding dunia lain dalam menghadapi covid ini yang bisa ratusan Triliun. Kita terbalik, untuk coronanya Rp 70 triliun dan untuk insentif ekonominya 150. Makanya saya lagi kampanye setidak-tidaknya sekarang dibalik, menghadapi Covid-19 ini lebih baik yang Rp 150 triliun dan nanti bisa ditingkatkan kalau ada skenario kondisi paling buruk terjadi,“ ujar Didin S Damanhuri.
Didin melihat, pemerintah saat ini harusnya memprioritaskan penanganan dan perlindungan masyarakat dari penularan maupun wabah Covid-19.
Karena itu dana yang disediakan harusnya diprioritaskan untuk penanganan pencegahan masyarakat dari penularan Covid-19 lebih banyak dibandingkan untuk perbaikan ekonomi.
Dengan diprioritaskannya dana untuk pencegahan Covid 19 maka pemerintah bisa menyediakan alat pelindung diri (APD) yang banyak untuk tenaga kesehatan, penyediaan kamar perawatan untk pasien yang tertular Covid 19, memproduksi masker yang cukup unuk masyarakat dan sebagainya.
“Jadi, kalau kita bayangkan untuk corona kita produksi masker yang masal, kemudian APD masal, dokter, perawat, rumah sakit disubsidi, dan itu ada spending tetapi spending itu adalah perputaran uang dan itu menyelamatkan nyawa manusia sekaligus menyelamatkan untuk sektor-sektor ekonomi sebenarnya. Jadi, jangan pendekatannya cost tapi ini human investment, ini adalah sebuah penyelamatan orang-orang unggul bahkan dokter dan perawat,” ujar Didin S Damanhrui.
Setuju PMK No 19/2020
Pada kesempatan tersebut Guru Besar Ekonomi Politik IPB Didn S Damanhuri juga sepakat dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 19/PMK.07/2020 yang salah satunya menyebutkan, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) dan dana bagi hasil sumberdaya alam (DBHSDA) dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk penanganan dan pencegahan penularan Covid 19.
Alasanya, penyelamatan masyarakat dari penularan Covid 19 menjadi prioritas utama. Dan hal itu menjadi kunci utama bagi pemulihan ekonomi.
“Setuju sekali. Jadi sekarang harus dimobilisasi dana (BHCHT) seperti itu terutama untuk daerah-daerah yang petani tembakaunya tinggi seperti Jatim atau Sumatera Utara. Kan tidak semua petani tembakau, jadi harus clustering dana itu. Atau kalau masih cukup besar cluster dimana yang banyak penyakit atau covid tinggi diutamakan juga. Saya setuju itu dana bagi hasil itu dimanfaatkan untuk melawan corona juga,” papar Didin S Damanhuri.
Menurut Didin, yang memprihatinkan selama ini DBHCT belum dimanfaatkan untuk pencegahan Covid. Malah alokasi dana pendidikan yang dipakai untuk membiayai pencegahan wabah Covid 19.
“ Harusnya proyek-proyek yang tidak prioritas ditunda. Jadi ini kayaknya pendekatannya Indonesia kurang pas. Tidak ada sense of crisis dengan menggunakan dana pendidikan dan tidak menggunakan dana-dana proyek nonprioritas. Jadi masih ada mimpi kayaknya mau cepet selesai (pencegahan Covid 19) lalu proyek nanti dilanjutkan. Kayaknya kurang membaca perkembangan yang berat dunia ini,” papar Didin S Damanhuri.
Berkaitan dengan industri hasil tembakau, Didin S Damahuri menyampaikan, meski dirinya tidak merokok dan tidak pro perokok, namun mengakui bahwa Industri hasil tembakau selama ini memang terbukti menggerakkan perekonomian masyarakat di kota dan di daerah.
Untuk itu sudah sewajarnya pemerintah melindungi dan membiarkan para petani tembakau bekerja serta memikirkan bagaimana menampung hasil produksinya.
Ditanya bagaimana memberikan stimulus untuk buruh dan petani tembakau, Didin mengakui belum mengetahuinya secara pasti.
Yang pasti jika perusahaan atau industri hasil tembakau masih bisa berproduksi dan melakukan ekspor hasil produksinya keluar negeri harus terus dilindungi, karena dapat menggerakan perekonomian masyarakat
“Untuk stimulus yang diberikan pemerintah untuk petani dan buruh tembakau saya enggak tahu persis seperti apa, tapi kira-kira kan mereka tetap bekerja kegiatan pertaniannya dan tinggal sosial distancingnya saja diatur lalu kemudian bagaimana menampung produknya. kalau bisa dengan bulog, Pemda, atau pengusaha yang menampung produknya bisa diberi insentif,” papar Guru Besar yang pernah mengenyam pendidikan di Perancis ini.
Guru Besar IPB yang juga guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjajaran Bandung ini juga sepakat dengan prediksi Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Karena adanya wabah Covid 19, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa dibawah 4 persen. Bahkan ekstrimnya bisa hanya mencapai 0,4 persen.
“Pertumbuhan ekonominya saya kira paling tinggi yang berat itu sekitar 2-3 %, bahkan minus. Bisa terjadi yaitu (pertumbuhan ekonomi hanya) 0,4 % kalau mengacu menteri keuangan. Itu angka realistis. Kan pakai perkiraan dengan asumsi semua variable dihitung dan ada cara menghitungnya," papar Didin S Damanhuri (*)