Laporan Reporter Danielisa Putriadita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kurs rupiah berpeluang mengalami tekanan dalam jangka pendek ini sebagai imbas dari penurunan outlook utang Indonesia dari stabil ke negatif oleh lembaga pemeringkat Standard and Poor's (S&P)
Meski begitu, untuk jangka panjang, ekonom dan analis memproyeksikan rupiah punya peluang untuk kembali menguat.
Sebelumnya, pada Jumat (17/4/2020) lalu, Lembaga pemeringkat Standard and Poor's (S&P) menurunkan outlook utang Indonesia dari sebelumnya stabil menjadi negatif. Sementara, peringkat kredit dipertahankan pada posisi BBB.
Josua Pardede, ekonom Bank Permata berpendapat, sentimen penurunan outlook tersebut hanya sementara mempengaruhi pergerakan rupiah.
Baca: Penjelasan Dewan Pakar IDI: Virus Corona Berpotensi Mati dengan Sendirinya
Sementara, peringkat kredit Indonesia yang tetap BBB menunjukkan bahwa prospek pertumbuhan ekonomi dalam negeri tetap stabil di tengah risiko perlambatan ekonomi global.
Faktor yang mendukung ekonomi Indonesia tetap stabil tidak lain datang berbagai upaya pemerintah menanggulangi pandemi korona, seperti menerbitkan Perpu Korona guna menetapkan kebijakan pemerintah, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam membatasi dampak negatif yang disebabkan Covid-19.
Baca: June Almeida, Orang Pertama Penemu Virus Corona di 1964 Silam
Dari sisi fiskal, profil utang Indonesia tahun ini memang berpotensi meningkat karena adanya pelebaran defisit anggaran belanja yang dialokasikan untuk penanganan dampak korona.
Baca: Kisah Ika Dewi Maharani, Relawan Perempuan Satu-satunya yang Jadi Sopir Ambulans di RS Covid-19
Terhitung pelebaran defisit 5,07% terhadap PDB berpotensi meningkatkan rasio utang terhadap PDB menjadi sekitar 32%-35%.
Josua menilai rasio utang tersebut masih di bawah 60% yang artinya masih sesuai dengan Undang-Undang Keuangan Negara.
Baca: Bahan Alami Curcumin Berkhasiat Tingkatkan Imunitas Tubuh, Tapi Bukan Obat untuk Covid-19
Secara keseluruhan, pandemi korona memang berdampak signifikan pada ekonomi global sehingga penurunan outlook rating juga bisa saja terjadi pada negara lain.
Namun, Josua menilai fundamental Indonesia kuat. Hal ini terlihat dari pengelolaan utang Indonesia yang baik.
Pelebaran defisit anggaran Indonesia diperkirakan hanya berlaku pada 2020-2022.
Pada 2023 batas defisit fiskal akan kembali ditetapkan di level 3% terhadap PDB.
"Banyak negara lain sudah memiliki rasio utang terhadap PDB yang sangat tinggi sebelum adanya korona," kata Josua.
Josua menegaskan penurunan outlook ini tidak menggambarkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang tetap kuat. Josua optimistis rupiah berpotensi mengarah ke level Rp 15.000 per dollar AS higga akhir tahun ini.
Senada, Direktur FRFX Garuda Berjangka Ibrahim memproyeksikan rupiah berpotensi bergerak stabil bahkan menguat ke Rp 14.500 per dollar AS di akhir tahun ini.
"Penurunan outlook, sementara rating BBB dipertahankan ini mengindikasikan fundamental Indonesia masih baik, penurunan tersebut hanya sebagai peringatan saja agar Indonesia semakin solid menjaga ekonomi," kata Ibrahim.
Artikel ini tayang di Kontan dengan judul Outlook rating Indonesia negatif, bagaimana proyeksi rupiah?