News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Jika Ingin Turunkan Harga BBM, Pemerintah Diminta Perhatikan Fluktuasi Harga Minyak Dunia

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi kilang minyak.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diminta berhati-hati menyikapi tuntutan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM). Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra PG Talattov, harga minyak dunia masih sangat fluktuatif dan memungkinkan sewaktu-waktu melonjak tajam.

“Mari belajar dari gejolak harga minyak dunia pada masa sebelum dan setelah krisis keuangan global 2008. Turun-naiknya harga minyak dunia secara ekstrim seperti roller coaster saat itu, sangat mungkin terjadi paska pandemi COVID-19,” kata Abra di Jakarta, kemarin (5/5/2020).

Pada saat pra krisis, lanjutnya, harga minyak mentah jenis WTI meroket 52,6 persen, dari US$ 91,7/barel (2 Januari 2008) menjadi US$ 140/barel (2 Juni 2008). Namun, melesatnya harga minyak dunia terbukti anomali.

Baca: Pengamat: Harga BBM Indonesia Masih Kompetitif di Kawasan ASEAN

Faktanya, menurut The Energy Information Administration (The EIA), konsumsi justru menurun dari 86,6 juta bph (Triwulan IV-2007) menjadi 85,73 juta bph (Triwulan II-2008). Sebaliknya, pasokan minyak malah meningkat dari 85,5 juta bph menjadi 86,17 juta bph.

Baca: Komisi VII DPR Soroti Harga BBM yang Tak Kunjung Turun

Baca: Pembelian BBM Pertamax dan Dex Series Dapat Diskon 30 Persen

Secara dramatis, lanjut Abra, setelah titik puncak pada Juni 2008, harga minyak terjun bebas hingga 70 persen ke level US$ 41 pada akhir 2008. Tetapi yang mengejutkan, sejak awal 2009 harga minyak kembali rebound hingga level US$ 79/barel (1 Desember 2009) seiring sentimen pemulihan ekonomi global paska krisis 2008.

“Pengalaman 2008 menceritakan, dalam waktu singkat harga minyak bisa melonjak tajam sampai 92 persen. Dan bahkan kenaikannya lebih tinggi dibandingkan situasi pra krisis 2008. Makanya kita harus berhati-hati,” kata Abra.

Dalam konteks inilah Abra mendukung langkah Pemerintah yang tidak menurunkan harga BBM. Sesuai hasil evaluasi Kementerian ESDM, harga jual eceran pada Mei 2020, masih sama dengan harga sebelumnya. “Keputusan tersebut sudah sangat bijak. Pemerintah tidak hanya melihat dalam jangka pendek, namun juga menengah dan panjang,” lanjut Abra.

Fluktuasi harga minyak, menurut Abra memang sangat tinggi. Pasalnya, saat ini terdapat faktor-faktor pemicu agar harga minyak dunia kembali menguat, termasuk faktor geopolitik.

Mulai dari perundingan OPEC plus dan rencana pemangkasan produksi hingga 9,7 juta barel per hari, ancaman Trumph kepada Arab Saudi jika tidak memangkas produksi minyak, eskalassi antara AS dan Iran, serta ancaman AS kepada Cina dalam perang dagang jilid kedua.

“Selain itu, tentu saja progres penemuan vaksin Corona yang cukup menggembirakan, yang akan memulihkan perekonomian,” lanjutnya.

Selain itu, lanjut dia, kalaupun sekarang BBM diturunkan, tidak akan memiliki dampak signifikan kepada perekonomian. Alasannya, karena inflasi saat ini yang terbilang rendah.

“Inflasi Maret 2,9% secara umum. Dan inflasi energi dari awal tahun sampe akhir Maret, 0.23%. Jadi masih relatif rendah. Dan siginfikansi penurunan harga BBM saat inflasi rendah sangat kurang, apalagi konsumsi juga menurun drastis,” kata dia.

Yang berbahaya, lanjutnya, kalau sekarang harga BBM diturunkan, maka saat rebound nanti sangat mungkin harga BBM juga ikut dinaikkan.

“Dan ini bedanya. Kalau penurunan BBM tidak otomatif berimbas pada penurunan harga pokok. Tetapi jika BBM dinaikkan, akan memicu kenaikan harga pokok sehingga terjadi inflasi. Makanya sangat berbahaya,” ujarnya. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini