TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Harga minyak dunia mulai rebound alias merangkak naik. Sepanjang minggu kemarin, harga minyak jenis Brent naik 8,09%, menjadi US$ 36,06 per barrel.
Pada bulan April lalu, minyak Brent di harga US$ 16 per barrel karena runtuhnya permintaan.
Sementara pada pekan kemarin, minyak jenis light sweet terangkat nyaris 13%, di kisaran US$ 37 per barel. Pada bulan sebelumnya, harga tertinggi light sweet di US$ 21 per barel.
Pemangkasan pasokan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan pemulihan permintaan minyak seiring pelonggaran lockdown turut mengerek harga minyak.
Baca: Kebijakan New Normal di Bandara Kamboja, Penumpang Wajib Jalani Tes Swab
Baca: Ekonom: Harga Sembako Terkendali, Inflasi selama Ramadan dan Idul Fitri Terjaga
Karena itu, permintaan sebagian pihak agar menurunkan harga BBM dinilai tak tepat.
Direktur Eksekutif Energi Watch Mamit Setiawan menilai, langkah pemerintah yang tidak menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di tengah kenaikan harga minyak dunia sudah tepat.
"Saat ini harga minyak terus fluktuatif. Belum lagi mata uang rupiah kita yang masih terdepresiasi," jelas Mamit dalam keterangannya, Selasa (26/5).
Terlebih, saat ini sejumlah daerah telah menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di tengah pademi virus corona atau Covid-19.
Sehingga terjadi penurunan konsumsi terhadap BBM dan kenaikan harga BBM di dunia tidak terlalu berpengaruh terhadap masyarakat.
"Saya melihatnya di tengah PSBB saat ini di mana konsumsi BBM terus mengalami penurunan sampai 26.4% tidak terlalu berdampak signifikan kepada masyarakat," kata Mamit.
Dengan kondisi saat ini, lanjut Mamit subsidi energi terutama BBM akan lebih bagus dialihkan untuk sektor kesehatan masyarakat yang terdampak Covid.
Selain itu juga, bisa digunakan untuk membantu masyarakat yang terdampak karena Covid-19 ini dengan memberikan bansos atau BLT.
"Subsidi BBM juga bisa untuk membantu masyarakat terutama pengguna listrik 1300 VA, yang saya kira juga banyak terdampak karena faktor pekerja yang kena PHK," kata Mamit.
Dengan demikian, kata Mamit, dampak dari energi murah adalah keberlangsungan EBT yang akan sedikit tertunda.
Ketika energi fossil lebih murah dari EBT maka, akan lebih memilih energi fossil tersebut.
"Dengan demikian target bauran energi 23% pada 2025 sulit untuk tercapai. Padahal kita punya potensi EBT yang bisa dimaksimalkan. Belum lagi jika energi murah tersebut hasil subsidi maka dampaknya terhadap APBN kita akan semakin jelas. Hampir setiap tahun subsidi APBN kita bisa dikatakan jebol," ujar Mamit.
Jika pun melebihi kuota, kata Mamit maka yang akan menanggung adalah badan usaha dalam hal ini Pertamina. Ini juga menjadi beban bagi Pertamina jika terus di subsidi. Masyarakat akan semakin dininabobokan dengan subsidi ini.
"Tanpa adanya konversi energi, kita dengan produksi migas hanya 750.000 barrel of oil per day (BOPD) sedangkan konsumsi BBM kita sampai 1.5 juta BOPD maka kita akan lebih banyak mengimpor baik produk maupun minyak mentah. Dampaknya adalah CAD akan semakin melebar impor migas ini. Rupiah sulit bergerak naik karena kebutuhan dollar yang semakin besar," jelas Mamit.
Sementara, terkait dengan kondisi harga minyak dunia yang terus mengalami kenaikan, Mamit mengira patut menjadi perhatian bersama. Ia memperkirakan harga minyak dunia akan terus mengalami kenaikan, mengingat sudah banyak negara melonggarkan kebijakan lockdown mereka.
"Dengan demikian permintaan akan BBM akan mengalami kenaikan, sedangkan di sisi lain OPEC+ masih komitmen untuk memotong produksi mereka sampai Juni ini sebanyak 9.7 juta BOPD. Dilanjutkan bulan berikutnya 7.7 juta BOPD sampai akhir tahun," kata Mamit.
Belum lagi, AS juga mulai mengurangi produksi minyak mereka. Dengan demikian permintaan akan meningkat di tengah supply yang berkurang, sehingga harga minyak dunia akan terus terkoreksi positif.
Ia mengingatkan, banyak variabel yang harus diperhatikan dalam menentukan harga BBM, terutama terkait dengan ketahanan energi dan stabilitas perekonomian nasional. Bisa dikatakan ini sangat kompleks.
Stabilisasi harga BBM ini lebih ditujukan untuk ketahanan energi dan stabilitas perekonomian nasional.
Bayangkan saja jika harga BBM itu naik-turun tidak menentu, pasti banyak aktivitas ekonomi yang terganggu. Apalagi saat ini tengah ada pandemi covid-19.
Hal ini juga terkait dengan ekosistem industri hulu-hilir migas nasional, di mana ada ribuan pekerja di dalamnya.
Opsi menurunkan harga BBM akan berpotensi mematikan bisnis sektor hulu migas nasional, sekaligus mendorong adanya PHK besar-besaran.
Tentu saja, itu bukan opsi yang bijak di tengah banyaknya industri yang kolaps dan jutaan pekerja yang dirumahkan karena pandemi Covid-19.
Berita Ini Sudah Tayang di KONTAN, dengan judul: Subsidi BBM masih tinggi, keberlangsungan program EBT bisa mandeg