Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengumpulkan informasi terkait peraturan yang memperbolehkan praktik penjualan rokok di bawah harga jual eceran (HJE).
Prektik ini berpotensi mengurangi penerimaan negara dari pajak penghasilan (PPh) badan hingga Rp 2,6 triliun pada 2020, naik tajam dibandingkan tahun 2019 sebesar Rp 1,7 triliun.
Deputi Bidang Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan menegaskan pihaknya masih meminta konfirmasi kepada Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan tentang informasi tersebut.
“Sedang dikumpulkan informasinya dan komunikasi dengan Direktur Jenderal Bea Cukai,” kata Pahala kepada wartawan, Jakarta, Selasa (30/6/2020).
Pernyataan KPK ini menanggapi polemik mengenai ketentuan Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Bea Cukai Nomor 37/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Tembakau.
Lampiran 12 peraturan ini membolehkan rokok di tingkat konsumen dijual di bawah 85 persen harga jual eceran (harga banderol) yang tertera dalam pita cukai asalkan tidak melampaui 50 persen atau setara 40 kantor pengawasan bea cukai.
Akibatnya, negara berpotensi kehilangan pendapatan negara dari PPh Badan.
Institute for Development of Economics (Indef) sebelumnya menyampaikan PPh badan yang berpotensi hilang mencapai Rp 1,7 triliun pada tahun 2019.
Kebijakan ini juga kontraproduktif dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024 yang berupaya menurunkan prevalensi merokok.
Ironisnya, celah kebijakan yang kemudian dikenal sebagai diskon rokok ini banyak dimanfaatkan perusahaan-perusahaan besar.
Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad menjelaskan, muncul beberapa persoalan di lapangan terkait pengawasan produk rokok yang menjual di bawah 85 persen harga jual eceran.
“Terdapat indikasi merek rokok tidak sesuai batas di wilayah yang disurvei, sehingga tidak dikenakan penyesuaian seperti yang diatur," ujar Tauhid.