Redenominasi sebenarnya bukan hal baru dan wacana ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Pro dan kontra mewarnai wacana redenominasi tersebut, isunya timbul tenggelam digantikan riuh politik di Indonesia dan tak benar-benar direalisasikan hingga saat ini.
Baca: Redenominasi Rupiah Justru Membahayakan, Bisa Bikin Salah Paham dan Lonjakan Harga
Pada tahun 2017, pertama kalinya Kementerian Keuangan bersama BI mengajukan RUU Redenominasi Mata Uang secara resmi. Saat itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani bersama Gubernur BI (periode 2013-2018) dan Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengajukan permohanan RUU Redemoninasi Mata Uang kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Awalnya, pelaksanaan redenominasi ditargetkan bisa terealisasi pada 1 Januari 2020. Namun landasan hukumnya belum juga keluar.
Baca: Redenominasi Rupiah Cocoknya Direalisasikan di Empat Tahun Lagi Setelah Pandemi Covid-19 Selesai
Wacana redenominasi pun kembali dilanjutkan, namun pembahasan payung hukumnya tak pernah selesai hingga berakhirnya masa kerja DPR periode 2014-2019.
Sejak 2018 hingga 2020, RUU Redenominasi Rupiah 2020 tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas).
Kini rencana redenominasi kembali dilanjutkan di tengah pandemi Covid-19. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024.
Lalu apa itu redenominasi? Dikutip dari KBBI, redenominasi artinya penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya.
Redenominasi berbeda dengan sanering atau pemotongan (nilai) uang. Sanering pernah dilakukan Indonesia pada tahun 1959.
Saat itu, pecahan Rp 500 dan Rp 1.000 diturunkan nilainya masing-masing menjadi pecahan Rp Rp 50 dan Rp 100.
Artikel ini tayang di Kontan dengan judul Ini pengalaman 3 negara yang gagal melakukan redenominasi