TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Langkah PT Pertamina (Persero) untuk melakukan penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO) masih terus menuai polemik.
Sejumlah kritik dari sejumlah kalangan.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengungkapkan, dalam upaya IPO tentunya Pertamina akan menawarkan subholding yang tergolong lini bisnis unggul dan menyisakan lini bisnis yang tergolong kecil atau tidak menguntungkan.
"Ini sektor strategis yang harus dikuasai negara, yang dijual pasti yang bagus, yang menguntungkan. Ketika yang bagus dijual yang sisa tinggal yang kecil akibatnya kemampuan pro subsidi semakin menurun," jelas dia dilansir Kontan, Sabtu (15/8).
Baca: Rhenald Kasali: Isu IPO Subholding Pertamina Terlalu Dibesar-besarkan
Marwan melanjutkan, dua alasan Pertamina ingin melakukan IPO adalah untuk transparansi dan pencarian dana juga patut menjadi perhatian.
Pasalnya ada langkah alternatif yang bisa ditempuh jika hanya untuk dua alasan tersebut.
Demi menunjukkan transparansi, Marwan menyarankan pemerintah mengambil langkah menjadikan BUMN, khususnya Pertamina sebagai non listed public company.
Dengan cara ini, laporan keuangan Pertamina bisa tetap terbuka namun tidak ada saham yang dilepas ke publik.
Baca: Subholding Upstream Pertamina Terima Sertifikat SMAP ISO 37001 : 2016
Sementara itu untuk pencarian dana, Marwan mengungkapkan dengan jaminan pemerintah maka Pertamina dapat menerbitkan surat utang dengan tingkat bunga yang tergolong baik ketimbang harus melakukan IPO.
Kepala Bidang Media Forum Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa menambahkan, pembentukan subholding berpotensi menimbulkan persaingan bisnis antar anak perusahaan. Apalagi, lini bisnis yang masuk dalam subholding merupakan inti bisnis Pertamina.
"Patut diduga pembentukan subholding anak usaha inilah yang jadi tujuan sebenarnya dari perubahan organisasi Pertamina karena dengan terbentuknya suholding terbukalah peluang perusahaan untuk melantai di bursa," ujar Marcellus.
Dia melanjutkan, berbanding terbalik dengan sejarah Pertamina, para pendahulu mengupayakan untuk menasionalisasi aset-aset asing yang ada di Indonesia saat awal mula.
Baca: Pertamina EP Percepat Recovery CPP Gundih
Di sisi lain, Pengamat Politik Rocky Gerung mengibaratkan langkah IPO Pertamina seperti upaya menjual organ tubuh. Di mana hanya organ tubuh yang penting yang akan diincar.
"Ini soal filosofi negara yaitu hasilkan keadilan bukan sekedar kesejahteraan, kalau pakai prinsip kesejahteraan yang laku itu jantung, ginjal, paru, yang gak laku itu usus besar," ungkap Rocky.
Ia menambahkan, tugas BUMN adalah untuk keadilan masyarakat. BUMN haruslah mendatangi yang tersisih. "Tidak boleh satu organ pun yang dipreteli, di transplantasi boleh lah untuk membantu," kata Rocky.
Artikel Sudah Tayang di Kontan.co.id dengan Judul Pengamat: IPO Pertamina bakal berdampak pada kemampuan subsidi dan inti bisnis
Pandangan Lain dari Rhenald Kasali
Polemik terkait IPO Pertamina juga disoroti pakar manajemen bisnis Universitas Indonesia Rhenald Kasali.
Dalam pandangan berbeda, dia mengkritisi banyaknya suara sumbang terkait rencana initial public offering (IPO) subholding Pertamina.
Termasuk di antaranya, mengenai tudingan bahwa IPO adalah cara untuk menjual Pertamina sebagai BUMN.
“Isu terkait rencana IPO subholding terlalu dibesar-besarkan. Ini kan hanya subholding-nya. Kalau IPO diartikan sebagai menjual perusahaan, itu tidak paham manajemen bisnis. Karena yang dijual bukan perusahaannya, tetapi sahamnya. Dan pemegang saham mayoritas tetap Pemerintah,” tegas Rhenald dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, hari ini, Sabtu (15/8/2020).
Rhenald melanjutkan, bahwa penjualan saham memiliki dimensi luas. Misalnya terkait kepercayaan, yaitu untuk meningkatkan governance control. Dalam hal ini, pengawasan tidak hanya dilakukan Menteri BUMN, tetapi juga publik.
Rencana IPO subholding, menurut Rhenald, merupakan cara Pertamina untuk membuat organisasi tersebut menjadi efisien, cepat bergerak, dan dapat survive melewati masa berat.
Karena saat ini tidak mudah mengelola perusahaan. Dalam 12 tahun terakhir, misalnya, perusahaan migas menghadapi tiga kali gejolak harga.
Baca: Fraksi PKS DPR Minta Pemerintah Kaji Ulang IPO Subholding Pertamina
Baca: Pertamina EP Percepat Recovery CPP Gundih
Rhenald mencontohkan saat Pandemi COVID-19 yang mengakibatkan permintaan turun, suplai naik.
Kebutuhan avtur turun, orang bepergian turun, harga turun, investor tidak ada yang tertarik untuk investasi mencari minyak.
“Jadi mau apa kalau ini tidak boleh, itu tidak boleh? Itu bisa mati!” tegas Rhenald.
Terkait hal itu, Rhenald melihat, bahwa Pertamina mencari cara lain, yaitu dengan kolaborasi. Dan yang dilakukan Pertamina, adalah hal biasa yang sah-sah saja dan tidak perlu dipersoalkan.
“Mari kita berpikir dengan cara-cara baru dalam melihat dunia migas kita. Jangan berpikir tentang kedaulatan saja, tetapi juga ketahanan. Ketahanan, yaitu bagaimana sesuatu di dunia ini sudah kolaborasi antar bangsa. Karena saat ini tidak ada yang bisa berdiri sendiri, semua kolaborasi,” jelas Rhenald.
Itu sebabnya, menurut Rhenald, rencana IPO subholding Pertamina memang tak perlu dipersoalkan. Apalagi, hingga saat ini belum upaya konkret bahwa Pertamina akan melakukan IPO subholding-nya.
“Belum sampai ke sana. Ini kan belum ada statement, belum ada keputusan,” kata dia.
Baca: Kinerja 2019, Pertamina Sejajar dengan Perusahaan Dunia di Fortune Global 500
Baca: BTN Tawarkan Promo KPR, Bunga Hanya 4,17 Persen
Dan kalau pun dilaksanakan, lanjut Rhenald, tentu membutuhkan persiapan panjang dan waktu lama.
Misal terkait persiapan akuntansi, governance, pembenahan aset-aset, dan sebagainya.
“Bisa jadi butuh waktu enam bulan atau paling cepat satu tahun. Tapi apa benar mau IPO? Saya kok tidak baca itu. Dialog publik juga belum ada,” katanya.
Artikel Sudah Tayang dengan Judul Rhenald Kasali: Isu IPO Subholding Pertamina Terlalu Dibesar-besarkan