TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah akhirnya sepakat memasukkan klaster ketenagakerjaan dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.
Semua fraksi di DPR melalui lobi-lobi yang sangat alot sudah secara bulat menyepakati klaster ketenagakerjaan, dengan mempertimbangkan masukan dari kalangan buruh.
Namun, isi RUU Cipta Kerja tetap mendapat penolakan dari buruh yang tergabung dalam beberapa serikat pekerja. Mereka mengancam akan menggelar aksi mogok nasional mulai 6 sampai 8 Oktober 2020 sebagai reaksi protes atas materi kluster ketenagakerjaan di RUU yang dianggap kontroversial ini.
Anggota Baleg DPR Firman Soebagyo saat dihubungi, Jakarta, Senin (28/9/2020) mengatakan, awal masalah ada di soal pesangon.
"Ini sudah disepakati oleh seluruh fraksi, pesangon kembali ke angka 32 kali gaji, dengan rincian 23 kali ditanggung perusahaan dan 9 kali beban pemerintah melalui BPJS," ujarnya.
Baca: Buruh Siapkan Mogok Nasional Tolak Pengesahan RUU Cipta Kerja, Begini Tanggapan Kadin
Persoalan upah minimum daerah per kabupaten atau kota juga telah ditetapkan berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi masing-masing daerah.
"Awalnya hanya pertumbuhan ekonomi, sekarang dimasukan inflasi. Jadi tidak memberatkan semua pihak," ucap politikus Golkar itu.
Ditolak Buruh
Namun, isi RUU Cipta Kerja ini tetap ditolak buruh. Antara lain soal hilangnya UMK dan UMSK, adanya upah padat karya, kenaikan upah minimum hanya pertumbuhan ekonomi tanpa menambah inflasi, PHK dipermudah.
Juga, hak upah atas cuti hilang, cuti haid hilang, karyawan kontrak seumur hidup, karyawan outsourcing seumur hidup, nilai pesangon dikurangi bahkan komponennya ada yang dihilangkan, jam kerja eksploitatif.
Baca: Tanggapi Rencana Mogok Kerja Buruh, Ini Imbauan Apindo untuk Pengusaha dan Pekerja
RUU Cipta Kerja juga diyakini akan mempermulus masuknya tenaga kerja asing (TKA) buruh kasar ke Indonesia, jaminan kesehatan dan pensiun hilang dengan berlakunya sistim kontrak dan outsourcing seumur hidup, dan hilangnya sanksi pidana.
Mogok Nasional
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan serikat pekerja lainnya juga berencana akan melakukan mogok nasional, jika DPR dan pemerintah tidak mengakomodir kepentingan buruh dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.
Said Iqbal mengatakan, jika pembahasan RUU Cipta Kerja yang sudah membicarakan klaster ketenagakerjaan, tidak mengakomodir kepentingan kaum buruh dan dilakukan sistem kejar tayang agar disahkan pada 8 Oktober 2020, maka seluruh serikat pekerja menggelar aksi besar-besaran secara nasional.
Menurutnya, dalam aksi tersebut sudah terkonfirmasi, berbagai elemen masyarakat akan bergabung untuk mendesak menghentikan pembahasan klaster ketenagakerjaan, jika tidak mengakomodir masukan buruh.
Di sisi lain, Said mengapresiasi sikap tujuh fraksi yang dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) untuk klaster ketenagakerjaan, menyatakan kembali kepada pasal-pasal di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Dengan kata lain, draft RUU Cipta kerja klaster ketenagakerjaan dikembalikan sesuai
Undang-Undang No 13 Tahun 2003.
“Bilamana komitmen ini dilanggar oleh DPR dan Panja Baleg RUU Cipta Kerja, maka bisa dipastikan perlawanan kaum buruh dan beberapa elemen masyarakat yang lain akan semakin massif,” paparnya.
Tudingan Kadin
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengungkapkan, ada 2 serikat pekerja yang jadi penggerak buruh untuk mogok kerja dari 6 Oktober hingga 8 Oktober 2020.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Eddy Kuntadi mengatakan, dua serikat pekerja tersebut yakni Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI).
"Serikat yang menolak KSPI dan KSPSI," ujarnya kepada Tribunnews, Kamis (1/10/2020).
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Shinta Widjaja Kamdani menyampaikan, pihaknya mengeluarkan surat edaran bahwa buruh yang ikut mogok kerja 3 hari tersebut akan kena sanksi.
"Ada 2 serikat pekerja yang menginisiasikan untuk mogok nasional makanya kami mengeluarkan surat edaran ini," katanya.
Dia menjelaskan, pengusaha saat ini juga sedang menanti kabar baik dari pembahasan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja dengan mekanisme Omnibus Law di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Kami menunggu hasil dari DPR, semoga semua bisa lancar," tutur Shinta.
Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P Roeslani menambahkan, kedua serikat pekerja itu belum mendukung RUU Cipta Kerja hingga sekarang. "Belum (mendukung) pak," kata Rosan.
Permintaan ke Pengusaha
Kadin Indonesia meminta agar pengusaha dapat mengambil beberapa langkah-langkah.
Pertama, menyarankan kepada seluruh pekerja atau buruh di perusahaan masing-masing untuk mematuhi peraturan mengenai mogok kerja serta ketentuan tentang protokol kesehatan Covid-19.
Kedua, memberikan pemahaman dan sosialisasi kepada pekerja atau buruh di perusahaan masing-masing terkait dengan ketentuan tentang mogok kerja.
"Termasuk sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggarannya, sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku, khususnya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan," kata Rosan dalam suratnya.
Ketiga, Kadin Indonesia menghimbau kepada seluruh pekerja atau buruh untuk tidak terprovokasi atas rencana mogok kerja nasional ini.
Pleno di Baleg DPR
Setelah disepakati klaster ketenagakerjaan, Firman menyebut langkah selanjutnya
melakukan pleno di Baleg DPR melalui rapat kerja dengan pemerintah untuk di sahkan
di paripurna.
"Lamanya tergantung penjadwalan, kalau besok sudah selesai semua ya diagendakan pada masa sidang terakhir. Insya Allah (8 Oktober 2020 disahkan)," ujarnya.
Firman mengklaim, setelah RUU Cipta Kerja disahkan menjadi undang-undang, akan ada kepastian hukum yang lebih jelas terhadap semua pihak dan dapat mendongkrak perekonomian Indonesia di tengah pandemi Covid-19.
"Tujuannya kami supaya ekonomi bergerak dan tidak terjadi PHK besar-besaran," ucapnya.
Sebelumnya pada UU Nomor 13, diatur ketentuan pemberian pesangon 32 kali upah. Pada subtansi RUU Cipta kerja terdapat dua hal penting.
Pertama, akan ada penyesuaian perhitungan besaran pesangon. Kedua, ada namanya tambahan program program jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) bagi korban PHK.
Dalam dokumen rapat antara pemerintah dan DPR disebutkan perlindungan pekerja yang kena PHK, dengan memanfaatkan JKP, antara lain cash benefit, vocational training, job placement access.
Pekerja yang mendapatkan JKP dijanjikan tetap akan mendapatkan jaminan sosial lainnya yang berupa jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan jaminan kesehatan nasional.
JKP inilah yang masih menuai perdebatan termasuk bagi buruh yang sejak awal menolak RUU Cipta Kerja.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan sangat tidak mungkin dan tidak masuk akal bila JKP untuk karyawan kontrak dan outsourcing dibayar negara.
Said Iqbal menyebutkan jumlah karyawan kontrak dan outsourcing itu 70% sampai 80% dari total jumlah buruh formal yangg bekerja sekitar 56 juta orang.
"Yang dimaksud, JKP ditanggung pemerintah, menurut kesepakatan panja, adalah JKP 9 bulan untuk pesangon karyawan tetap, bukan JKP untuk karyawan kontrak atau outsourcing melalui agen."
"Apalagi kalau karyawan kontrak dan outsourcing dikontrak perusahan di bawah satu tahun, tidak jelas siapa dan berapa nilai JKP nya," kata Iqbal.