Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Undang-undang (UU) Cipta Kerja pada Senin kemarin.
Pro dan kontra pun bermunculan, tidak hanya kaum buruh yang terus menyuarakan sikap protesnya terhadap pemerintah terkait UU ini.
Namun juga para ekonom kian menyoroti pasal-pasal yang ada dalam UU yang baru saja diteken Presiden Jokowi ini.
Baca juga: Beberapa Pasal Klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja Dinilai Merugikan Buruh Versi KSPI
Baca juga: Tolak UU Cipta Kerja, KSPSI: Kami Pilih Jalur Konstitusional
Satu diantaranya terkait pembentukan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Sovereign Wealth Fund (SWF) yang dianggap kurang tepat jika dibentuk untuk menarik investasi langsung.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira pun menggarisbawahi Pasal 158 ayat 4 yang berbunyi 'Keuntungan atau kerugian yang dialami Lembaga dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), merupakan keuntungan atau kerugian Lembaga'.
"Kurang tepat ya untuk menarik investasi langsung (FDI), yang terjadi adalah pola penerbitan surat utang dengan jaminan aset pemerintah dan BUMN, ini yang berisiko tinggi apabila gagal bayar, maka aset akan disita," ujar Bhima, kepada Tribunnews, Selasa (3/11/2020).
Ia juga menilai bentuk investasi para investor dilakukan dalam bentuk pembelian surat utang atau obligasi.
"Investasi yang masuk kalaupun ada, dengan cara investor membeli surat utang dari lembaga ini. Kemudian yang jadi persoalan ada terkait tata kelola dan celah korupsi," jelas Bhima.
Bhima kembali merujuk pada pasal 158 yang menurutnya kontradiktif dan bisa merugikan keuangan negara jika terjadi kesalahan dalam pengelolaan aset.
"Dalam UU Cipta Kerja pasal 158 punya implikasi bahwa kerugian/keuntungan lembaga bukan kerugian Negara padahal asetnya merupakan aset negara. Di sini ada celah merugikan keuangan negara dalam jangka panjang apabila nilai aset negara menurun karena salah kelola," tegas Bhima.