News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Resesi Ekonomi

Indonesia Resesi, Chatib Basri Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Akan Positif di Kuartal I 2021

Penulis: Reynas Abdila
Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Menteri Keuangan RI 2013-2014 Chatib Basri

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom senior Chatib Basri mengatakan pertumbuhan ekonomi sudah mulai turn around, meskipun Indonesia mengalami resesi.

"Dugaan saya pertumbuhan ekonomi akan mulai positif di kuartal I 2021. Kuartal IV 2020 ada kemungkinan ekonomi masih di zona negatif atau mendekati 0 persen," kata Chatib, Jumat (6/11/2020).

Mantan Menteri Keuangan tersebut menilai dari sisi pengeluaran semua, walau masih negatif juga telah menunjukkan perbaikan.

Menurutnya, peningkatan utama terlihat pada konsumsi pemerintah, yang tumbuh 9,76 persen akibat stimulus fiskal khususnya perlindungan sosial (BLT).

"Prospek 2021 akan sangat tergantung bagaimana penanganan pandemi. Porsi terbesar dari konsumsi RT adalah kelas menengah atas. Kelas menengah atas akan cenderung menabung dan enggan konsumsi jika situasi pandemi belum baik," tuturnya.

Mengenal Resesi dan Dampaknya, Respons Analis hingga Menkeu

Indonesia dipastikan mengalami resesi setelah Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi RI yang dilihat dari produk domestik bruto (PDB) terkontraksi minus 3,49 persen di kuartal III 2020 (year on year/yoy).

"Kalau kita bandingkan posisi triwulan ketiga tahun lalu masih mengalami kontraksi 3,49 persen. PDB Indonesia menunjukkan pertumbuhan signifikan secara kuartalan sebesar 5,05 persen," kata Kepala BPS Suhariyanto dalam paparan virtual, Kamis (5/11/2020).

Baca juga: Harga Emas Antam Pagi Ini Persis di Posisi Rp 1 Juta per Gram

Menurutnya, pertumbuhan kuartalan menjadi modal yang bagus untuk tahun 2021.

"Secara kumulatif pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I sampai dengan triwulan III masih terkontraksi 2,03 persen," tuturnya.

Baca juga: Rupiah Semakin Menguat ke Rp 14.380 per Dolar AS, Kamis, 5 November 2020, Berikut Kurs di 5 Bank

Suhariyanto menambahkan kontraksi pertumbuhan ekonomi tidak terlalu dalam setelah diberlakukannya pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

BPS sebelumnya telah merilis pertumbuhan ekonomi RI di kuartal II 2020 minus 5,32 persen yoy.

Apa Itu Resesi?

Dikutip dari Forbes, 15 Juli 2020, ekonom Julius Shiskin mendefinisikan pengertian resesi adalah penurunan PDB yang terjadi selama dua kuartal berturut-turut.

Hal ini terjadi lantaran penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.

Para ahli juga menyatakan resesi ekonomi terjadi ketika suatu negara mengalami Produk Domestik Bruto (PDB) negatif, adanya kenaikan tingkat pengangguran, penurunan penjualan ritel, dan terjadinya kontraksi di pendapatan manufaktur untuk periode waktu yang panjang.

Resesi dianggap sebagai bagian tak terhindarkan dari siklus bisnis atau dalam ekonomi suatu negara.

Sedangkan Biro Riset Ekonomi Nasional (NBER) otoritas yang dipercaya menentukan mulai dan berakhirnya resesi di AS mengartikan resesi sebagai penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang berlangsung lebih dari beberapa bulan.

Biasanya terlihat dalam PDB riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi industri, dan penjualan ritel.

Penyebab resesi ekonomi

Ada beberapa yang menyebabkan resesi, mulai dari goncangan ekonomi secara tiba-tiba hingga dampak dari inflasi yang tidak terkendali. Berikut beberapa penyebab resesi:

1. Guncangan ekonomi yang tiba-tiba

Wabah virus corona yang memukul sektor ekonomi di seluruh dunia, adalah contoh yang lebih baru dari goncangan ekonomi yang tiba-tiba. Contoh lain, pada 1970-an, OPEC memutus pasokan minyak ke AS tanpa peringatan, menyebabkan resesi, belum lagi adanya antrean tak berujung di pompa bensin.

2. Utang yang berlebihan

Ketika individu atau dunia usaha mengambil terlalu banyak utang, mereka bisa terjebak ke gagal bayar utang. Terjadinya gagal bayar ini lah yang membuat kebangkrutan dan membalikkan perekonomian.

Baca Juga: Harga minyak mentah ambles 1,6% setelah Partai Republik kembali kuasai Senat AS

3. Gelembung aset

Investasi berlebihan di pasar saham atau real estate diibaratkan seperti gelembung yang bisa membesar. Ketika gelembung meletus, terjadi penjualan dadakan yang dapat menghancurkan pasar dan menyebabkan resesi.

4. Terlalu banyak inflasi

Inflasi adalah tren harga yang stabil dan naik seiring waktu. Inflasi bukanlah hal yang buruk, tetapi inflasi yang berlebihan adalah fenomena yang berbahaya. Bank sentral mengendalikan inflasi dengan menaikkan suku bunga, dan suku bunga yang lebih tinggi menekan kegiatan ekonomi.

Pada 1970-an, inflasi yang tidak terkendali menjadi masalah di AS. Bank sentral AS atau The Fed pun dengan cepat menaikkan suku bunga, yang menyebabkan resesi.

5. Terlalu banyak deflasi

Deflasi adalah ketika harga turun dari waktu ke waktu, yang menyebabkan upah berkontraksi, yang selanjutnya menekan harga. Ketika siklus deflasi tidak terkendali, orang-orang dan bisnis berhenti belanja, yang akibatnya merongrong perekonomian.

Contohnya, pada 1990-an, Jepang harus berjuang melawan deflasi yang membuatnya terpuruk dalam resesi.

6. Perubahan teknologi

Penemuan baru meningkatkan produktivitas dan membantu perekonomian dalam jangka panjang, tetapi mungkin ada periode jangka pendek penyesuaian terhadap terobosan teknologi.

Pada abad ke-19, Revolusi Industri membuat seluruh profesi tergusur teknologi, memicu resesi dan masa-masa sulit. Saat ini, beberapa ekonom khawatir bahwa AI dan robot dapat menyebabkan resesi dengan menghilangkan seluruh kategori pekerjaan.

Dampak resesi

Dampak resesi sangat terasa dan efeknya bersifat domino pada kegiatan ekonomi. Contohnya, ketika investasi anjlok saat resesi, secara otomatis akan mengilangkan sejumlah lapangan pekerjaan yang membuat angka PHK naik signifikan.

Produksi atas barang dan jasa juga merosot sehingga menurunkan PDB nasional. Jika tak segera diatasi, efek domino resesi akan menyebar ke berbagai sektor seperti macetnya kredit perbankan hingga inflasi yang sulit dikendalikan, atau juga sebaliknya terjadi deflasi.

Lalu neraca perdagangan yang minus dan berimbas langsung pada cadangan devisa. Dalam skala riilnya, banyak orang kehilangan rumah karena tak sanggup membayar cicilan, daya beli melemah.

Lalu banyak bisnis terpaksa harus gulung tikar. Resesi teranyar, di antaranya pernah terjadi di sebagian negara Eropa dalam rentan waktu tahun 2008-2009. Di mana situasi sulit ini juga sempat membuat ekonomi Indonesia melemah.

Negara tetangga, Thailand, juga sempat mengalami resesi ekonomi pada tahun 2010 saat PDB-nya terus merosot. Indonesia sendiri sempat mengalami resesi cukup parah pada tahun 1998.

Banyak resesi global juga terjadi karena faktor eksternal yang berada di luar kendali seperti dinamika global perang dagang China dan Amerika Serikat (AS). Kondisi-kondisi yang bisa mengukur apakah bisa terjadi resesi 2020 atau resesi ekonomi 2020.

Tidak Perlu Panik

Direktur Riset CORE (Center of Reform on Economics) Piter Abdullah memprediksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal III dan kuartal IV juga kemungkinan masih mengalami minus.

"Apabila perkiraan ini benar-benar terjadi, maka Indonesia pada bulan Oktober nanti akan secara resmi dinyatakan resesi," kata Piter beberapa waktu lalu

Menurutnya, pandemi Covid-19 membuat pertumbuhan ekonomi dipastikan negatif.

Piter menegaskan resesi menjadi sebuah kenormalan baru, saat ini semua negara diyakini tinggal menunggu waktunya saja untuk menyatakan secara resmi sudah mengalami resesi.

"Semua negara berpotensi mengalami resesi. Perbedaannya hanya masalah kedalaman dan kecepatan recovery. Negara-negara yang bergantung kepada ekspor, kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi sangat tinggi akan mengalami double hit, sehingga kontraksi ekonomi akan jauh lebih dalam," terangnya.

Piter mengimbau jika resesi benar terjadi masyarakat jangan panik.

Dia bilang yang lebih penting bagaimana dunia usaha bisa bertahan di tengah resesi.

Respons Menkeu Sri Mulyani

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan perekonomian Indonesia pada kuartal III-2020 tumbuh -3,49 persen secara year on year (yoy). Pertumbuhan tersebut dinilai lebih baik dibandingkan dengan kuartal II-2020 yang tumbuh -5,32 persen.

Sri Mulyani menjelaskan, pertumbuhan kuartal III yang lebih baik ini ditunjukan karena adanya proses perbaikan ekonomi atau pembalikan arah (turning point) dari aktivitas ekonomi nasional.

“Hal ini menunjukan adanya perbaikan dari aktivitas-aktivitas ekonomi nasional. Seluruh komponen pertumbuhan ekonomi baik dari sisi pengeluaran dan produksi mengalami peningkatan,” jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers secara daring, Kamis (5/11).

Lebih lanjut, Sri Mulyani mengatakan perbaikan kinerja perekonomian didorong juga oleh peran stimulus fiskal atau dari instrumen APBN dalam penanganan pandemi Covid-19 lewat program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Sri Mulyani juga bilang, penyerapan belanja negara mengalami peningkatan pada kuartal III. Hal ini tercatat dari belanja negara yang tumbuh 15,5 persen terutama ditopang oleh realisasi bantuan sosial dan dukungan untuk dunia usaha terutama UMKM.

“Rilis BPS juga menunjukan bahwa realisasi percepatan belanja negara meningkat pesat pada kuartal III, sehingga membantu peningkatan dari pertumbuhan konsumsi pemerintah yang tumbuh 9,8 persen yoy,” ujar Menkeu.

Pertumbuhan konsumsi pemerintah sebesar 9,8 persen yoy juga meningkat tajam apabila dibandingkan dengan kuartal II-2020 yang tumbuh -6,9 persen. Pertumbuhan ini mengalami turning point hingga 17 persen.

Sumber:

Kata Sri Mulyani setelah ekonomi Indonesia resmi masuk resesi

Apa itu resesi ekonomi dan dampaknya yang resmi dialami Indonesia?

BREAKING NEWS: Resmi Resesi, Pertumbuhan Ekonomi RI Kuartal III 2020 Minus 3,49 Persen

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini