News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pemerintah Isyaratkan Iuran BPJS Kesehatan Naik Lagi, Begini Respons BPJS Watch

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Layanan PANDAWA di BPJS Kesehatan Cabang Ende.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah sedang mengkaji kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan penghapusan sistem kelas dalam rawat inap peserta BPJS Kesehatan.

Sebagaimana diketahui pemerinah sedang melakukan penghitungan ulang iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berbasis Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK). 

Hal itu sesuai dengan amanat pada Peraturan Presiden 64 tahun 2020 tentang Peninjauan Ulang Manfaat JKN.

Merespons hal tersebut, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, dampak penghapusan kelas tersebut akan menghasilkan satu kelas standar dan satu iuran tunggal.

Baca juga: DPR Masih Tunggu Hasil Kajian Pemerintah Terkait Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan 

"Kalau nanti kelas standar itu yang sedang dikaji oleh DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) itu menjadi dua kelas yaitu jadi kelas Penerima Bantuan Iuran (PBI)  dan non-PBI, maka yang namanya Kelas I, Kelas II dan Kelas III itu tidak ada lagi, yang ada kelas non-PBI. Jadi hanya satu kelas," kata Timboel saat dihubungi Tribunnews, Kamis (26/11/2020).

Baca juga: Pemerintah Bayar Iuran 96,6 Juta Peserta BPJS Kesehatan 

"Jadi kalau istilahnya Pak Menteri kemarin penyesuaian. Jadi nanti ada yang ditarik ulur ke bawah ada yang ditarik naik ke atas yaitu Kelas III," imbuhnya.

Menurut Timboel, saat ini yang menjadi pertanyaan masyarakat adalah bagaimana perhitungan iuran yang akam ditetapkan

Ia memperkirakan, iuran akan berkisar di atas Rp 42 ribu dan di bawah Rp 100 ribu.

"Kalau di atas Rp 150 ribu itu tidak mungkin nanti akan kebesaran, tapi di bawah Rp 42 ribu tidak mungkin juga karena yang paling rendah sekarang Rp 42 ribu. Nah makanya feeling saya antara Rp 42 ribu sampai Rp 100 ribu, misalnya Rp 60 ribu atau Rp 70 ribu," ucapnya.

Lebih lanjut, Timboel meminta pemerintah melakukan cleansing data dengan baik.

Hal itu supaya PBI benar-benar diperuntukkan bagi orang-orang miskin.

"Sehingga orang-orang di Kelas III ini mandiri yang miskin bisa tertapung di PBI sehingga tidak lagi bayar dia tetap iurannya dibayar oleh pemerintah," ucapnya.

Pemerintah, lanjut dia, harus melihat fakta bahwa ada peningkatan angka kemiskinan.

Menurutnya harus ada kenaikan kuota PBI dari yang ada sekarang 96,8 juta jiwa.

"Nah ini apalagi terkait dengan pasal 35 di perpres 64/2020, mengatakan nanti di 2021 PBI APBD itu tidak lagi, yang akan diperiksa oleh PBI APBD, orang miskin di daerah yang dibiayai pemda, kalau dia memang miskin akan masuk ke APBN," ucapnya.

"Nah itu harus dinaikkan jumlah orangnya sehingga konsekuensi dari pada APBN meningkat anggarannya. Kalau sekarang 96,8 juta jiwa kan Rp 48,7 triliun," lanjutnya.

Selain itu, pemda diminta tetap memberikan subsidi seperti saat ini.

Menurutnya, nanti akan ada kelas-kelas menengah yang rentan karena keadaan tertentu bisa jadi miskin.

"Nah inilah yang harus mendapat subsidi pemerintah seperti sekarang. Jadi tiga hal itu yang mungkin bisa membantu sehingga tingkat non-aktif itu bisa diturunkan," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini