Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembenahan tata kelola hulu minyak dan gas (migas) mutlak dibutuhkan demi meningkatkan investasi sekaligus mengejar target produksi 1 juta barel minyak per hari (BOPD) dan 12 miliar standar gas kaki kubik per hari (BSCFD) pada tahun 2030.
Tenaga Ahli Komite Pengawas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Nanang Abdul Manaf menyatakan, persyaratan itu merupakan kesimpulan setelah beberapa contoh negara yang telah berhasil meningkatkan produksinya yaitu Libya, Mesir dan Malaysia.
“Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara-negara yang telah berhasil meningkatkan produksi. Saat terjadi revolusi Arab Spring, Lybia masih melakukan impor minyak, tetapi sekarang mereka telah menjadi eksportir minyak," jelas Nanang dalam Forum Group Discussion (FGD) Tata Kelola Hulu Migas dalam Mendukung Pencapaian Target Produksi, Jumat (27/11/2020).
"Kolombia dan Malaysia, kedua negara itu melakukan perubahan radikal pada sistem tata kelola migas, misalnya untuk lapangan marginal dibuat sesimpel mungkin sehingga menarik investor untuk masuk ke lapangan marginal maupun lapangan kecil,” tambahnya.
Menurut Nanang, reformasi tata kelola migas di negara Mesir dan Kolumbia terjadi sangat dramatikal, karena setelah dilakukan perbaikan-perbaikan maka hanya butuh waktu tiga tahun untuk membuat produksi meningkat pesat.
"Stakeholders collaboration telah dilakukan di negara lain sehingga mampu membangun iklim investasi migas yang menarik investor. Hal yang sama harus dilakukan Indonesia," tuturnya.
Baca juga: Kejar Target 1 Juta Barel, Industri Hulu Migas Butuh Investasi 250 Miliar Dolar AS
Ini akan tercermin dari kebijakan, regulasi dan praktik-praktiknya. Paling mudah, jika sektor ini dianggap vital dan penting, maka saat sektor migas berhadapan dengan sektor lain, sektor migas akan menjadi prioritas.
Baca juga: Pandemi Covid-19 Diprediksi akan Mengubah Pola Bisnis Industri Hulu Migas
“Misalnya, lokasi migas terdapat perkebunan atau pertambangan dan lainnya, maka yang diprioritaskan adalah pembebasan lahan untuk migas. Hal-hal semacam ini dilakukan di negara lain termasuk Mesir. Keunggulan di Mesir adalah kesucian kontrak PSC-nya disepakati. Tidak ada institusi lain yang bisa men-challenge, sehingga dalam waktu 30 tahun hak-hak investor yang ada di kontrak PSC di Mesir dilindungi,” kata Nanang.
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmi Radhi memaparkan, pentingnya sinergi dan kolaborasi antar-pemangku kepentingan dalam mewujudkan tata kelola hulu migas yang baik di Indonesia.
Masing-masing ego sektoral yang berbeda harus disingkirkan, kemudian untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif perlu diberikan stimulus insentif fiskal dan non-fiskal.
“Jika Indonesia tidak memberikan, maka akan kalah dalam bersaing. Target 1 juta barel per hari mustahil bisa direalisasikan,” kata Fahmi.