TRIBUNNEWS.COM, MAKASSAR - Indonesia adalah produsen rumput laut terbesar di dunia, dengan menyumbang lebih dari sepertiga produksi global.
Terdapat 550 jenis rumput laut dunia yang tumbuh di perairan Indonesia, salah satunya eucheuma cottoni.
Rumput laut yang lebih dikenal sebagai alga merah itu memiliki nilai ekonomi tinggi dan Indonesia menguasai 80 persen suplai dunia. Tiongkok menjadi negara tujuan utama ekspor alga merah Indonesia.
Namun, potensi besar itu menyisakan persoalan yang dihadapi oleh pembudi dayanya.
Pengusaha budi daya rumput laut harus menghadapi ketidakpastian harga ketika musim panen tiba. Suplai melimpah membuat harga rumput laut jatuh dan mereka terpaksa menjualnya dengan harga murah.
Pada musim panen berikutnya, ketika harga naik, pembudi daya rumput laut tidak bisa menikmatinya, karena mereka tidak punya cukup modal untuk melakukan budi daya.
Sementara itu, akses permodalan menjadi terbatas, karena banyak lembaga keuangan yang tidak tertarik dengan jaminan stok rumput laut yang banyak dimiliki pembudi daya.
Untuk mengatasi masalah itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), melalui Badan Layanan Umum Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (BLU LPMUKP), meluncurkan program pembiayaan Sistem Resi Gudang (SRG) komoditas rumput laut.
Peluncuran dilakukan di Gudang SRG Koperasi Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (Kospermindo), Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (27/11/2020).
BLU LPMUKP ingin sistem tersebut mendorong pengelolaan hasil produk kelautan dan perikanan menjadi maksimal.
Sebagaimana produk yang mempunyai unsur musiman, pengelolaan hasil kelautan dan perikanan perlu menerapkan SRG, untuk meningkatkan hasil produksi sekaligus mencegah terjadinya fluktuasi nilai produk.
Fluktuasi nilai produk sangat memengaruhi produktivitas nelayan dan SRG adalah salah satu instrumen pinjaman atau pembiayaan bagi nelayan dan petani.
Syarif Syahrial, Direktur LPMUKP, menyatakan SRG di Makassar merupakan awal pelaksanaan program pemberdayaan nelayan, juga pembudi daya rumput laut, yang dirancang bersama Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag), Direktorat Jenderal (Ditjen) Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP, dan PT Kliring Berjangka Indonesia (KBI).
“SRG sangat penting untuk memberikan kepastian harga, karena pembudi daya rumput laut, termasuk nelayan, dihadapkan dengan turunnya harga ketika produksi melimpah. Diharapkan dengan sistem ini, nelayan tidak perlu khawatir lagi terhadap ancaman penurunan harga saat panen,” kata Syarif, di Makassar, Jumat (27/11/2020).
Dengan Sistem Resi Gudang, dikatakan Syarif Syahrial, pinjaman bisa mencapai 70 persen dari nilai barang yang tercantum. Hal ini tentu merupakan angin segar untuk koperasi maupun pelaku UMKM sektor kelautan dan perikanan.
"LPMUKP pun akan terus berupaya untuk memberikan strategi dan alternatif bagi pelaku usaha UMKM kelautan dan perikanan agar semakin mudah dalam mengakses peminjaman modal. Apalagi, bagi nasabah yang terkena dampak Covid-19,“ papar Syarif.
Sementara itu, Kospermindo, yang diketuai oleh Arman Arfah, telah memperoleh izin Bappebti untuk mengoperasikan SRG produk rumput laut.
LPMUKP membiayai mitra Kospermindo, yang menjaminkan rumput lautnya.
Harapannya, pembudi daya tidak perlu lagi khawatir akan potensi penurunan harga ketika stok rumput laut melimpah, karena dapat menyimpan produknya di gudang dengan mendapatkan modal untuk proses produksi berikutnya.
Diutarakan Syarif, kepastian ketersediaan bahan baku yang memberikan peluang kepada BLU LPMUKP bersama Kospermindo untuk mengembangkan korporatisasi koperasi rumput laut, terutama di Provinsi Sulawesi selatan.
Melalui SRG, LPMUKP memberikan dua bantuan sekaligus untuk pembudidaya rumput laut, yaitu modal dan akses pasar.
Saat harga turun, pembudi daya bisa menyimpan hasil panen di gudang Kospermindo.
LPMUKP akan memberikan pinjaman modal senilai 70 persen dari nilai stok yang dijaminkan di gudang.
Untuk pinjaman itu dikenakan bunga rendah, yaitu tiga persen per tahun. Ketika harga komiditas naik, pembudi daya bisa menjual stok mereka di pasar.