Berdasarkan data The Food and Agriculture Organization (FAO), harga rata-rata kedelai pada Desember 2020 tercatat sebesar 461 dolar AS per ton atau naik 6 persen dibanding bulan sebelumnya 435 dolar AS per ton.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Syailendra menyebut yang membuat harga kedelai mahal adalah faktor global di mana harga kedelai di tingkat global juga mengalami kenaikan, sehingga berdampak pada harga kedelai impor ke Indonesia.
"Jadi stok memang aman, kita pastikan dan kita sudah cek. Jadi, stok itu ada tapi harga merangkak naik dan bahkan sudah dari Juli dan kemarin (Desember) penyesuaian lagi," ujarnya.
Selain itu penyebab kenaikan harga kedelai adalah karena lonjakan permintaan kedelai dari China kepada AS selaku eksportir kedelai terbesar dunia.
Pada Desember 2020 permintaan kedelai China naik dua kali lipat, yaitu dari 15 juta ton menjadi 30 juta ton.
Memukul Rakyat
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira menilai kenaikan harga kedelai berdampak buruk pada masyarakat kelas menengah ke bawah.
Dampak buruk ini tidak hanya akan dirasakan pelaku usaha yang memanfaatkan tempe dan tahu sebagai bahan baku produk mereka, namun juga masyarakat yang biasa mengkonsumsi produk hasil fermentasi itu.
"Kenaikan harga bahan baku tempe tahu tentu akan memukul kelas menengah ke bawah," ujar Bhima.
Perlu diketahui, tempe dan tahu merupakan produk olahan kedelai kaya protein. Sejak pandemi virus corona (Covid-19) berdampak buruk pada perekonomian global termasuk Indonesia, konsumsi masyarakat pun beralih ke tempe dan tahu.
Karena dua makanan khas lokal ini memiliki harga yang jauh lebih murah dibandingkan daging.
"Secara umum tempe dan tahu jadi kebutuhan protein penting, apalagi dalam kondisi resesi ekonomi dan angka kemiskinan naik, yang biasa beli telur, ayam dan daging sapi bergeser ke membeli tempe tahu," jelas Bhima.
Menurut Bhima, ekonomi masyarakat akan semakin jatuh di masa pandemi ini, jika produsen tempe berhenti produksi, kemudian harga tempe dan tahu melambung.
"Kalau sampai naik tinggi harga di pasaran dan produsen tempe tahu stop produksi, itu sangat berisiko bagi ekonomi masyarakat," kata Bhima.
Bhima Yudhistira menilai ada beberapa faktor yang mendorong naiknya harga kedelai sehingga berdampak pada kelangkaan tempe di pasaran.
Pertama adalah terbatasnya pasokan ini dari sejumlah negara pengekspor, seperti Argentina dan Brazil.
Kemudian stok komoditas satu ini pun semakin menipis di Amerika Serikat (AS).
Perlu diketahui, kedelai yang selama ini menjadi bahan baku tempe dan tahu merupakan pasokan dari AS, Kanada, Brazil dan Uruguay.
"Faktor kenaikan harga kedelai ada beberapa, mulai dari pasokan yang terbatas dari Argentina dan Brazil disebabkan faktor cuaca, stok AS pun terus menipis," ujar Bhima.
Sedangkan pemicu lainnya adalah melonjaknya permintaan komoditas ini di China. Negara itu memang telah kembali pulih kondisi perekonomiannya pasca dihantam pandemi virus corona (Covid-19).
"Sementara dari sisi permintaan, terjadi kenaikan yang signifikan dari China paska pemulihan ekonomi dari Covid-19," jelas Bhima.
Saat ini, kata Bhima, China mendominasi permintaan untuk kedelai secara global dan Indonesia tentu terkena imbasnya.
Baca juga: Harga Kedelai Naik, Produsen Tempe Mogok, Pedagang: Sejak Hari Jumat Tempe Kosong
Karena Indonesia menjadi negara yang memiliki tingkat konsumsi kedelai terbesar di dunia, setelah China.
Kedelai di China juga dimanfaatkan untuk pakan ternak.
"China menguasai 64 persen dari total permintaan kedelai global, kedelai banyak digunakan di China untuk pakan ternak," kata Bhima.
Pulihnya ekonomi negara di Asia Timur itu, tentunya mengembalikan tingkat permintaan masyarakatnya terhadap konsumsi kedelai.
"Ketika ekonomi pulih, daya beli masyarakat China membaik, permintaan kedelai impor juga tinggi," pungkas Bhima.(Tribun Network/fit/nas/wly)