TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Produsen tempe dan tahu di kawasan Jabodetabek akan kembali memasok produk olahan kedelai pada hari ini setelah mogok produksi selama tiga hari.
Mogok produksi ini sebelumnya dilakukan karena naiknya harga kedelai yang merupakan bahan baku pembuatan tempe dan tahu.
Pardi (41), seorang produsen pabrik tempe di wilayah Kota Bambu Utara, Jakarta Barat, mengaku akan kembali mulai memasok tempe ke para pedagang yang menjadi pelanggannya.
"Iya mogok dari hari Jumat, Sabtu sudah mulai produksi lagi, Senin sudah jualan, ini sudah dibikin stok tempe buat besok dipasok ke pasar," ujar Pardi, saat ditemui Tribun di pabriknya, Minggu (3/1/2021).
Kendati akan kembali memulai produksinya usai mogok tiga hari, ia mengaku belum memperoleh informasi terkait penetapan harga tempe dari pihak koperasi yang menaunginya.
Namun jika memang tidak ada kenaikan harga, ia akan mengurangi ukuran tempe yang diproduksi pabriknya.
Hal itu agar tetap ada keuntungan yang bisa diperoleh dari produksi tempe saat harga kedelai masih tinggi.
"Kalau harga ketentuan dari koperasi, kita enggak nentuin harganya berapa, cuma ya dikuranginlah ukurannya. Karena kan dari koperasi nggak nurunin harga," jelas Pardi.
Baca juga: Produsen Tempe di Bekasi Kembali Berproduksi Setelah 3 Hari Mogok
Menurutnya, aksi mogok produksi kali ini berbeda dengan sebelumnya yang berimbas pada penetapan kenaikan harga.
Sehingga kebijakan pun diambil masing-masing produsen, termasuk dirinya yang akhirnya memutuskan untuk mengurangi ukuran tempe.
"Biasanya kan kayak kemarin-kemarin, harga sekian, jadi naik sekian. Ini nggak ada (ketentuan naik harga). Jadi ya pintar-pintarnya kita saja, supaya tetap ada uang lelah kita produksi tempe," kata Pardi.
Pardi mengaku selama ini memasok tiga pasar tradisional yang tidak jauh dari lokasi pabrik kecilnya itu, yakni Pasar Gili, Pasar Budi Darma, dan Pasar Kebon Kacang.
Sejak Jumat lalu pun, sudah banyak pedagang yang menanyakan stok tempe padanya. Karena produk olahan kedelai satu ini memang banyak diminati masyarakat.
Namun ia tidak bisa memberikan apa yang diminta para pelanggannya itu, lantaran kosongnya stok tempe.
"Biasanya kita suplai ke Pasar Gili, Pasar Budi Darma, sama Pasar Kebon Kacang. Ya sebenarnya pas mogok kemarin itu sudah banyak yang cari tempe, cuma kan nggak ada stoknya, kita mogok dan nggak buat tempe itu," papar Pardi.
Tribun sempat melihat ke dalam pabrik kecil miliknya, dua orang karyawan yang sedang sibuk mengolah kedelai.
Pardi menjelaskan saat ini sedang proses fermentasi kedelai, besok sudah mulai kembali dipasarkan.
"Ya terus sekarang lagi bikin buat besok, kan fermentasi biasanya dua hari, jadi dari Sabtu kemarin sudah mulai produksi lagi, karena kan mogoknya cuma sampai Minggu," ujar Pardi.
Jual Oncom
Sementara itu, pedagang tempe bernama Kastera (54) yang biasa berjualan di Pasar Budi Darma, Kota Bambu Utara, Jakarta Barat mengaku saat ini pasokan tempe dan tahu cukup sulit, karena aksi mogok produksi yang dilakukan para produsen dua produk olahan kedelai tersebut.
"Susah sekarang, ini gara-gara kedelai naik, saya jadi susah dapat tempe dan tahu, ini adanya ya cuma oncom aja," ujar Kastera.
Ia mengaku tidak mendapatkan tempe dan tahu sejak Jumat lalu, padahal dua produk ini banyak diminati pembelinya.
"Ini sudah 3 hari dari hari Jumat kosong, yang beli juga pada nanya tapi ya bagaimana, kosong di pabriknya," jelas Kastera.
Terkait harga, biasanya ia menjual tempe per papannya sebesar Rp 5.000, sedangkan dari produsen Rp 4.000.
Namun jika terdapat kenaikan harga, nantinya ia juga akan menyesuaikan harga tersebut.
Baca juga: Belum Ada Info Soal Harga, Produsen Tempe: Senin Jualan, Tapi Mungkin Ukurannya Dikurangi
"Ya saya jualnya Rp 5.000 sekarang, tapi kalau misalnya harga naik dari sananya (pabriknya), ya saya sesuaikan saja harganya," kata Kastera.
Kastera menyampaikan, dirinya telah memperoleh kabar dari pabrik yang biasa memasok tempe untuknya, bahwa para produsen itu akan mulai kembali beroperasi hari ini.
"Tapi yang saya dengar itu besok (Senin) udah mulai produksi lagi pabriknya, jadi ya saya tunggu aja ini," pungkas Kastera.
Ketua Bidang Hukum Sedulur Perajin Tahu-Tempe Indonesia (SPTI) Fajri Safii menilai ada potensi kartel yang membuat harga kedelai melonjak 35 persen dari harga sebelumnya.
Menurutnya, harga kedelai sebagai bahan pokok untuk pembuatan tempe dan tahu bisa meruntuhkan sikap nasionalis dan kebanggaan terhadap budaya bangsa.
Itu karena tempe dan tahu merupakan makanan pokok bangsa Indonesia yang menjadi bagian dari budaya bangsa.
"Pemerintah harus turut campur dalam pengendalian harga ini bukan memberi fasilitas importir untuk melakukan monopoli harga atau kartel," kata Fajri.
SPTI menduga bahwa Pemerintah seperti tidak mengambil tindakan apapun terhadap kenaikan harga kedelai ini.
Fajri menerangkan bila melihat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Ketentuan Import Kedelai dalam Rangka Stabilitas Harga Kedelai, peraturan ini dianggap menghambat tumbuhnya importir-importir baru.
"Ini menyebabkan importir lama semaunya menetukan harga dan melakukan kesepakatan harga atau kesepakatan pembagian wilayah pemasaran, hal ini jelas bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Yang Tidak Sehat," ujarnya.
Terpisah, Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Suhanto memastikan, stok kedelai cukup untuk kebutuhan industri tahu dan tempe nasional.
"Kementerian Perdagangan terus mendukung industri tahu tempe Indonesia. Dengan penyesuaian harga, diharapkan masyarakat akan tetap dapat mengonsumsi tahu dan tempe yang diproduksi oleh perajin," kata Suhanto.
Berdasarkan data Asosiasi Importir Kedelai Indonesia (Akindo), saat ini para importir selalu menyediakan stok kedelai di gudang importir sekitar 450.000 ton.
Baca juga: Harga Kedelai Naik, Pedagang: Besok Tempe Mulai Ada Lagi, tapi Mungkin Ukurannya Dikurangi
"Apabila kebutuhan kedelai untuk para anggota Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) sebesar 150.000—160.000 ton/bulan, maka stok tersebut seharusnya masih cukup untuk memenuhi kebutuhan 2—3 bulan mendatang," ujarnya.
Oleh karena itu, Kemendag menjamin tahu dan tempe tetap tersedia di masyarakat. Sebelumnya, Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) menyatakan akan melakukan penyesuaian harga tahu dan tempe dengan harga kedelai impor.
Informasi yang diperoleh bahwa harga kedelai impor di tingkat perajin mengalami penyesuaian dari Rp 9.000/kg pada November 2020 menjadi Rp 9.300 — 9.500/kg pada Desember 2020 atau sekitar 3,33—5,56 persen.
Pada Desember 2020 harga kedelai dunia tercatat sebesar 12,95 dolar AS per bushels atau naik 9 persen dari bulan sebelumnya yang tercatat 11,92 dolar AS per bushels.
Berdasarkan data The Food and Agriculture Organization (FAO), harga rata-rata kedelai pada Desember 2020 tercatat sebesar 461 dolar AS per ton atau naik 6 persen dibanding bulan sebelumnya 435 dolar AS per ton.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Syailendra menyebut yang membuat harga kedelai mahal adalah faktor global di mana harga kedelai di tingkat global juga mengalami kenaikan, sehingga berdampak pada harga kedelai impor ke Indonesia.
"Jadi stok memang aman, kita pastikan dan kita sudah cek. Jadi, stok itu ada tapi harga merangkak naik dan bahkan sudah dari Juli dan kemarin (Desember) penyesuaian lagi," ujarnya.
Selain itu penyebab kenaikan harga kedelai adalah karena lonjakan permintaan kedelai dari China kepada AS selaku eksportir kedelai terbesar dunia.
Pada Desember 2020 permintaan kedelai China naik dua kali lipat, yaitu dari 15 juta ton menjadi 30 juta ton.
Memukul Rakyat
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira menilai kenaikan harga kedelai berdampak buruk pada masyarakat kelas menengah ke bawah.
Dampak buruk ini tidak hanya akan dirasakan pelaku usaha yang memanfaatkan tempe dan tahu sebagai bahan baku produk mereka, namun juga masyarakat yang biasa mengkonsumsi produk hasil fermentasi itu.
"Kenaikan harga bahan baku tempe tahu tentu akan memukul kelas menengah ke bawah," ujar Bhima.
Perlu diketahui, tempe dan tahu merupakan produk olahan kedelai kaya protein. Sejak pandemi virus corona (Covid-19) berdampak buruk pada perekonomian global termasuk Indonesia, konsumsi masyarakat pun beralih ke tempe dan tahu.
Karena dua makanan khas lokal ini memiliki harga yang jauh lebih murah dibandingkan daging.
"Secara umum tempe dan tahu jadi kebutuhan protein penting, apalagi dalam kondisi resesi ekonomi dan angka kemiskinan naik, yang biasa beli telur, ayam dan daging sapi bergeser ke membeli tempe tahu," jelas Bhima.
Menurut Bhima, ekonomi masyarakat akan semakin jatuh di masa pandemi ini, jika produsen tempe berhenti produksi, kemudian harga tempe dan tahu melambung.
"Kalau sampai naik tinggi harga di pasaran dan produsen tempe tahu stop produksi, itu sangat berisiko bagi ekonomi masyarakat," kata Bhima.
Bhima Yudhistira menilai ada beberapa faktor yang mendorong naiknya harga kedelai sehingga berdampak pada kelangkaan tempe di pasaran.
Pertama adalah terbatasnya pasokan ini dari sejumlah negara pengekspor, seperti Argentina dan Brazil.
Kemudian stok komoditas satu ini pun semakin menipis di Amerika Serikat (AS).
Perlu diketahui, kedelai yang selama ini menjadi bahan baku tempe dan tahu merupakan pasokan dari AS, Kanada, Brazil dan Uruguay.
"Faktor kenaikan harga kedelai ada beberapa, mulai dari pasokan yang terbatas dari Argentina dan Brazil disebabkan faktor cuaca, stok AS pun terus menipis," ujar Bhima.
Sedangkan pemicu lainnya adalah melonjaknya permintaan komoditas ini di China. Negara itu memang telah kembali pulih kondisi perekonomiannya pasca dihantam pandemi virus corona (Covid-19).
"Sementara dari sisi permintaan, terjadi kenaikan yang signifikan dari China paska pemulihan ekonomi dari Covid-19," jelas Bhima.
Saat ini, kata Bhima, China mendominasi permintaan untuk kedelai secara global dan Indonesia tentu terkena imbasnya.
Baca juga: Harga Kedelai Naik, Produsen Tempe Mogok, Pedagang: Sejak Hari Jumat Tempe Kosong
Karena Indonesia menjadi negara yang memiliki tingkat konsumsi kedelai terbesar di dunia, setelah China.
Kedelai di China juga dimanfaatkan untuk pakan ternak.
"China menguasai 64 persen dari total permintaan kedelai global, kedelai banyak digunakan di China untuk pakan ternak," kata Bhima.
Pulihnya ekonomi negara di Asia Timur itu, tentunya mengembalikan tingkat permintaan masyarakatnya terhadap konsumsi kedelai.
"Ketika ekonomi pulih, daya beli masyarakat China membaik, permintaan kedelai impor juga tinggi," pungkas Bhima.(Tribun Network/fit/nas/wly)