Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai minusnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 2,07 persen di 2020, di antaranya karena kebijakan New Normal yang dipaksakan oleh Pemerintah terbukti malah menjadi blunder.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan, di satu sisi ada dorongan agar masyarakat bisa beraktivitas dengan protokol kesehatan.
"Tapi, PSBB (pembatasan sosial berskala besar) jalan terus, operasional berbagai jenis usaha dibatasi. Ini kebijakan abnormal," ujarnya kepada wartawan, Jumat (5/2/2021).
Menurut Bhima, kebijakan yang maju mundur membuat kepercayaan konsumen jadi turun meski ada vaksin Covid-19 dan kebijakan new normal.
"Tapi, kenapa ada PPKM? Kenapa kasus harian masih tinggi? Ini jadi pertanyaan di benak konsumen," katanya.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Minus Lagi, PAN: Ketatkan Prokes dan Percepat Bansos Tunai
Selain itu, dia menambahkan, stimulus program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) terbukti kurang efektif karena ada perencanaan yang salah di awal pembentukan PEN.
Masalah utama dinilainya adalah kurangnya dukungan pada sisi kebijakan permintaan yakni perlindungan sosial Rp 220,3 triliun dan realisasi belanja kesehatan Rp 63,5 triliun.
Baca juga: Indef: Ekonomi Minus 2,07 Persen di 2020, Tanda Pemerintah Gagal Tangani Pandemi
Angka ini, lanjut Bhima, masih lebih kecil dibandingkan stimulus lain misalnya untuk pembiayaan korporasi Rp 60,7 triliun, insentif usaha Rp 56,1 triliun, sektoral kementerian, lembaga, dan pemda Rp 66,5 triliun dan insentif UMKM Rp 112 triliun.
"Idealnya pemerintah mendorong sisi permintaan dibanding fokus pada sisi penawaran. Jika permintaan belum terdorong dengan belanja pemerintah, maka percuma memberikan banyak keringanan bagi pelaku usaha," pungkasnya.