Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Banyak orang melakukan trading Bitcoin dan jenis aset kripto hanya berdasarkan 'apa kata orang'.
Bahkan ada sekadar ikut-ikutan teman tanpa bermodal dasar analisis teknikal alias charting tanpa menggunakan data.
"Analisis teknikal alias charting, setidaknya membantu investor dan trader, apakah harga aset sudah tepat untuk dibeli atau dijual," kata Muhammad Kurnia Bijaksana, Pendiri Komunitas Crypto Legend Indonesia dalam ‘Pelatihan Trading Aset Kripto’ yang digelar secara daring di Zoom, Kamis (4/3/2021) lalu.
Baca juga: Pentingnya Pemula Memahami Panduan Agar Tidak Gagal Berinvestasi di Bitcoin
"Jadi, kita tidak sekadar ikut apa kata orang, seperti yang ada di Twitter dan lain sebagainya.
Kalau kita tidak punya ilmunya, maka sama halnya kita adalah korban 'pump-pump'," kata Kurnia.
Menurut Kurnia, ada sejumlah prinsip dasar dalam analisis teknikal, untuk memprediksi harga di masa depan, berdasarkan asumsi, bahwa “sejarah seringkali berulang”.
Hal lainnya, analisis teknikal menggunakan metode probabilitas.
Artinya, hasil dari analisis hanya berkemungkinan besar, bukan selalu tepat dan pasti.
"Hasil analisis teknikal juga selayak peta untuk mengarungi pasar. Ia bukanlah seperti nasihat ampuh apalagi selayak 'wahyu'. Analisis teknikal juga harus disertai dengan 3 pilar penting lainnya, yakni sistem perdagangan, pengelolaan dana dan psikologi," tegasnya.
Baca juga: Sejak Awal Tahun, Hampir Semua Aset Kripto Melonjak 100 Persen
Kurnia mencontohkan indikator sederhana dalam analisis teknikal, yakni menggunakan Moving Average (MA).
Indikator itu cukup ampuh digunakan dalam keputusan membeli atau menjual aset kripto, karena pada prinsipnya memperhalus gambaran pergerakan harga pada timeframe tertentu.
"MA pada dasarnya menyaring pergerakan harga yang cenderung mengandung noise, apalagi Bitcoin misalnya terkenal sangat volatil.
Ketika misalnya MA lebih pendek, katakanlah MA50 menembus dari bawah terhadap MA100 dan MA200 (crossing/menyilang), maka harga dapat dikatakan mulai meningkat.
Dan sebaliknya, jika MA50 menyilang dari atas MA yang lebih panjang, maka harga dapat dikatakan berpotensi terkoreksi," kata Kurnia.
Pelatihan itu sendiri digelar oleh Blockchainmedia.id bekerjasama dengan Chainsightnews.com, sebagai media siber berpengaruh di sektor aset kripto di Indonesia.
Animo peserta pun sangat tinggi.
Hal itu dibuktikan dengan jumlah peserta yang mencapai 128 orang, cukup tinggi bagi kelas pelatihan asset kripto secara daring.
“Pelatihan ini sendiri sangat menarik karena turut menjajal bursa aset kripto FTX.com yang didirikan dan dipimpin oleh Sam Bankman-Fried.
Di bursa itu, tak hanya aset kripto biasa yang tersedia, tetapi pula saham, misalnya Tesla dan Apple, termasuk valuta asing,” ujar Kurnia.
Sam Bankman-Fried belum lama ini didapuk sebagai orang terkaya kedua di dunia di bidang bisnis Bitcoin Cs dengan kekayaan mencapai US$ 10 milyar atau Rp Rp143 triliun, berdasarkan riset organisasi Hurun asal Tiongkok.
Saat pelatihan itu, Kurnia sempat memrediksi, bahwa harga Bitcoin berpotensi menyentuh harga puncak, yakni US$80 ribu per BTC dalam jangka panjang.
Sedangkan dalam jangka pendek, setidaknya US$63 ribu per BTC.
Sikap bullish itu pun disertai kajian fundamental, bahwa Bitcoin terus diburu oleh perusahaan-perusahaan besar.
“Kabar teranyar di antaranya adalah perusahaan MicroStrategy asal Amerika Serikat yang membeli Bitcoin senilai US$1 milyar pada Februari lalu demi melawan inflasi buruk yang mungkin datang di masa depan.
Ada lagi Tesla, pimpinan Elon Musk dengan belanja Bitcoin US$1,5 milyar,” kata Kurnia.