Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Jalan Tol Indonesia (MJTI) mengkritik kebijakan Bank Indonesia yang mengenakan biaya merchant discount rate (MDR) dalam pemrosesan transaksi uang elektronik sebesar 0,5 persen di jalan tol.
"Ini kebijakan yang tidak berdasar, mengada-ada dan kontraproduktif dengan pembangunan. Harus segera dievaluasi," ujar Ketua MJTI Untung Kurniadi, dalam webinar Membangun Konektivitas Transportasi Indonesia, Selasa (30/3/2021).
Menurut Untung, membangun jalan tol bukanlah perkara yang mudah. Selain badan usaha jalan tol (BUJT) harus didukung oleh modal yang besar juga pengembalian investasinya pun relatif panjang.
Baca juga: Rencana Pembangunan Jalan Tol Solo-Jogja -YIA Terkendala Pembebasan Lahan di Desa Mlangi Sleman
Dengan penerapan tarif MDR tersebut, dia menilai akan berdampak memasukan biaya tersebut ke dalam investasi BUJT yang akhirnya dibebankan kepada masyarakat.
Untung berharap Keputusan Deputi Gubernur BI Nomor 23/1/KEP.DpG/2021 tentang penetapan skema harga merchant discount rate (MDR) dalam pemrosesan transaksi uang elektronik chip based untuk reguler sebesar 0,5 persen itu dapat direvisi.
“Kebijakan ini tidak pro pembangunan dan tidak mendukung kebijakan Pemerintah dalam menerapkan sistim tol nirsentuh di seluruh Indonesia,” ungkapnya.
Diketahui, dalam regulasi yang diteken Deputi Gubernur BI Sugeng tanggal 19 Februari 2021 yang sejatinya sudah mulai diberlakukan pada tanggal 1 Maret 2021 itu mengatur distribusi skema harga MDR untuk transaksi uang elektronik chip based seluruhnya menjadi pendapatan acquirer yang dalam hal ini merupakan penerbit uang elektronik chip based.
Secara sederhana, bank bakal mendapatkan pendapatan dari transaksi uang elektronik berbasis chip atau kartu. Saat ini, terdapat empat kartu uang elektronik yang diterbitkan bank yakni e-money Bank Mandiri, Flazz BCA, TapCash BNI dan Brizzi milik Bank BRI.
Baca juga: Jalan Tol Balikpapan-Samarinda Seksi 1 dan 5 Ditargetkan Bisa Dilalui Pemudik
Bisnis pembayaran jalan tol kini memang hanya melibatkan dua pihak yaitu penerbit uang elektronik dan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) sebagai merchant.
Agar uang elektronik bisa diterima sebagai alat transaksi, penerbit mesti menanggung sebagian biaya infrastruktur yang telah dikeluarkan BUJT misalnya membangun gardu eletronik, mesin pembaca kartu, dan sebagainya.
Sementara pendapatan penerbit berasal dari dana menganggur (floating money) saldo uang elektronik, maupun komisi isi ulang saldo. Sebagai informasi, penerbit bisa menempatkan floating money maksimum 70% pada instrumen surat berharga.
Sementara seluruh uang yang ditransaksikan oleh masyarakat pengguna uang elektronik berbasis cip ini akan diterima oleh merchant sepenuhnya.
Mengacu catatan Bank Indonesia, 90% uang elektornik berbasis cip memang dikontribusikan dari pengguna tol. Meski demikian pangsa pasar uang elektronik berbasis cip memang terhitung kecil hanya 9%. Sisanya dikuasai uang elektornik berbasis server.
Sementara sampai Oktober 2020 volume transaksi uang elektornik mencapai 3,781 miliar dengan nilai mencapai Rp 163,433 triliun.