Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom INDEF Drajad H Wibowo menerangkan kondisi impor dan kedaulatan pangan cenderung semakin parah sejak Indonesia dilanda krisis moneter 1997/1998.
Di masa Orde Baru, pangan bukan sekadar penopang ekonomi dan mensejahterakan rakyat, tapi juga sebagai bagian dari pertahanan keamanan nasional
Kekinian masalah impor ini terjadi lantaran produksi pangan pokok seperti beras, gula, dan daging sudah jauh di bawah konsumsi nasional.
"Dengan pertumbuhan penduduk dan pendapatan per kapita Indoneisa otomatis kebutuhan pangan naik dengan cepat. Kenaikan ini jauh lebih cepat dari kenaikan produksi pangan, apalagi sebagian produksi tersebut stagnan," kata Drajad dalam webinar Permasalahan Impor dan Kedaulatan Pangan, Senin (3/5/2021).
Baca juga: Harga Kedelai Masih Rentan Alami Kenaikan Lantaran Masih Bergantung Pasokan Impor
Menurutnya, akar permasalahan Indonesia sangat bergantung terhadap impor pangan lantaran harga produksi petani/peternak Indonesia yang jauh lebih mahal dari negara tetangga.
Baca juga: BUMN Ini Impor 420 Ton Lebih Daging Sapi Asal Brasil
"Produksi pangan tidak mencukupi konsumsi sehingga mau tidak mau harus impor pangan agar harga stabil," jelasnya.
Di sisi lain selisih harga yang besar tersebut membuat impor menjadi bisnis yang super menggiurkan.
Baca juga: Pemerintah Berencana Impor Gandum untuk Pakan Ternak
Itu pula sebabnya para raja impor pangan mampu menjadi raksasa bisnis di Indonesia.
"Tidak heran hampir setiap tahun kita melihat keributan soal pengaturan kuota impor pangan, sampai tidak sedikit elit politik yang ditahan KPK. Itu sebabnya kita melihat ada keributan soal Permenperin 3/2021 di mana Jawa Timur menjadi episentrumnya," tukas dia.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim Adik Dwi Putranto menyampaikan rencana impor cadangan beras pemerintah (CBP) sudah menimbulkan gonjang-ganjing terutama di level petani.
Adik menuturkan pemerintah keliru memprediksi produksi beras yang disebut akan turun karena adanya pandemi Covid-19 disertai cuaca ekstrem la nina.
"Prediksi produksi menurun ini justru surplus. Gonjang-ganjing ini yang baru wacana membuat harga turun padahal belum impor beneran. Penurunan harga gabah kering panen menurut data BPS Maret 2021 Rp4.385 per kilogram atau anjlok 7,8 persen dibandingkan bulan sebelumnya," tuturnya.