Laporan Wartawan Tribun Network, Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA –
Ketua Umum Aliansi Pengusaha Penghantar Nikotin Elektronik Indonesia (APPNINDO), Roy Lefrans mengatakan, Produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan, terbukti secara ilmiah memiliki profil risiko yang lebih rendah hingga 90%-95% dibandingkan rokok.
Karena itu, produk yang merupakan hasil dari pengembangan inovasi serta teknologi ini telah digunakan di sejumlah negara untuk menurunkan prevalensi merokok.
Roy Lefrans menjelaskan produk HPTL mempunyai risiko yang lebih rendah daripada rokok karena tidak ada proses pembakaran dalam penggunaannya.
"Sedangkan pada rokok kan harus dibakar, itulah mengapa produk HPTL tidak mengandung TAR, karena pembakaran itulah yang menghasilkan zat-zat berbahaya,” kata Roy dalam pernyataannya, Jumat(28/5/2021).
Sudah ada beberapa bukti penelitian yang menunjukkan produk HPTL memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan rokok, salah satunya riset yang dilakukan badan eksekutif dari Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial di Inggris, Public Health England berjudul “Evidence Review of E-Cigarettes and Heated Tobacco Product 2018” yang menyatakan bahwa profil risiko produk HPTL 95% lebih rendah daripada rokok.
Baca juga: Hasil Studi: HPTL Berpotensi Kurangi Risiko bagi Perokok di Indonesia
Roy menjelaskan produk HPTL dijadikan sebagai strategi alternatif untuk membantu perokok untuk beralih ke produk tembakau yang lebih rendah risiko.
Baca juga: Hari Konsumen Nasional, Pemerintah Diminta Penuhi Hak Pengguna HPTL
“Kalau di Eropa lebih seru lagi, produk HPTL justru jadi resep dari dokter untuk pasien yang mau berhenti merokok. Di Selandia Baru mereka punya program Bebas Asap Rokok 2025 dan untuk mendukung program itu produk HPTL menjadi salah satu solusinya. Ini kan bagus banget ya,” ujarnya.
Baca juga: Penyederhanaan Tarif Cukai Rokok Dinilai Bisa Tutup Celah Menghindari Pajak
Pada Februari 2021, Public Health England, juga telah menerbitkan laporan independen ketujuh yang merangkum bukti terbaru tentang rokok elektrik.
Pada 2020 lalu, sebanyak 27,2 persen orang menggunakan rokok elektrik sebagai bantuan untuk berhenti merokok dalam kurun waktu 12 bulan dibandingkan dengan 15,5 persen orang yang menggunakan terapi pengganti nikotin dan 4,4 persen yang menggunakan obat varenicline.
Kendati merupakan solusi alternatif untuk berhenti merokok, Roy mengungkapkan masih banyak perokok dewasa yang belum mengetahui informasi tersebut. Untuk itu diperlukan adanya edukasi dengan menggandeng berbagai pemangku kepentingan terkait.
“Peran pemerintah dan media penting dalam mendukung upaya edukasi agar masyarakat mendapat informasi yang akurat mengenai produk ini. Inilah peran asosiasi untuk bekerja sama dengan pemerintah dan media untuk terus mensosialisasikan fakta tentang produk HPTL ke masyarakat,” katanya.
Selama ini, Roy melanjutkan, perokok dewasa mendapatkan informasi yang keliru mengenai produk HPTL.
Misalnya, produk ini dianggap sama berbahayanya bagi kesehatan seperti rokok. Padahal, hasil sejumlah kajian ilmiah dari dalam dan luar negeri telah menunjukkan fakta yang sebaliknya.
“Kendala kami dalam melakukan sosialisasi adalah hoaks dan kampanye hitam, masyarakat mendapatkan dua informasi berbeda, yang salah dan yang benar. Makanya harus ada kolaborasi antara asosiasi, pemerintah, dan media,” tutup Roy.