Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, memastikan bahwa bisnis Garuda Indonesia akan berfokus pada penerbangan rute domestik.
Menurutnya, penerbangan di pasar domestik dinilai akan memberikan keuntungan yang lebih besar, dibandingkan rute internasional.
Mengingat, kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan, sangat mendukung bisnis penerbangan.
“Indonesia ini negara kepulauan, jadi tidak mungkin orang Indonesia menuju pulau lain dengan kereta. Opsi cuma dua, kapal laut dan pesawat,” jelas Erick dalam jumpa pers di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta Pusat, Rabu (2/6/2021).
“Fokus garuda Indonesia dan Citilink ke depan akan fokus pada domestik market, bukan internasional. Ini sudah dibicarakan,” sambungnya.
Baca juga: Kondisi Maskapai Garuda Indonesia Sakit-sakitan, Komisaris Rela Gajinya Tak Dibayar
Strategi dengan fokus penerbangan domestik ini merupakan salah satu upaya Kementerian BUMN untuk memperbaiki kondisi Garuda Indonesia.
Erick Thohir juga sedang mengupayakan cara-cara lain untuk mempertahankan Garuda Indonesia agar tetap sustainable.
Mulai dari mengubah model bisnis dan melakukan pembicaraan dengan pihak lessor terkait utang yang saat ini sedang melilit maskapai berkode saham GIAA.
Baca juga: Kementerian BUMN Keluarkan 4 Opsi Penyelamatan Garuda Lewat Restrukturisasi Utang
“Kita tidak menutup diri atau berdiam diri, kita harus melakukan terobosan atau perbaikan,” katanya.
Diketahui, maskapai penerbangan pelat merah Garuda Indonesia sedang mengalami kondisi keuangan yang tidak sehat.
Seperti dilansir Bloomberg, Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra mengatakan, Garuda memiliki utang sekitar Rp 70 triliun atau setara 4,9 miliar dollar AS.
Baca juga: Garuda Tawarkan Pensiun Dini dan Pangkas Operasional, Analis: Tak Ada Pilihan Lain di saat Pandemi
Angka tersebut meningkat sekitar Rp 1 triliun setiap bulan karena terus menunda pembayaran kepada pemasok.
Perusahaan memiliki arus kas negatif dan utang minus Rp 41 triliun.
“Kegagalan menjalankan program restrukturisasi dapat mengakibatkan perusahaan dihentikan secara tiba-tiba," jelas Irfan seperti dilansir Bloomberg, Minggu (23/5/2021).