Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Implementasi bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) atau safeguard untuk produk garmen impor dinilai sebagai langkah yang tidak tepat, karena berpotensi memicu inefisiensi.
Ekonom UI sekaligus Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal menilai safeguard hanya diperlukan ketika ada produksi dalam negeri yang terluka akibat masuknya produk luar negeri.
"Pertama itu harus dibuktikan dulu ya derajat lukanya seperti apa.
Baca juga: Pameran Virtual Sektor Tekstil dan Garment Segera Digelar
Terus yang kedua jangan sampai ketika safeguard itu diterapkan, yang lebih banyak terjadi adalah berdampak pada sektor-sektor yang lain," kata Fithra, Senin (7/6/2021).
Secara sektoral, kata Fithra, Indonesia bisa manfaatkan keadaan pasca pandemi saat ini karena produk-produk Indonesia dan produk-produk China, misalnya, termasuk dalam hal ini garmen dan tekstil, sebenarnya semakin lama semakin komplementer, bukan semakin kompetitif.
“Ini perlu dipikirkan baik-baik. Pertama dampaknya ke perekonomian dalam negeri, itu juga harus dihitung baik-baik, yang mana secara empiris lebih banyak negatifnya,” katanya.
Kedua adalah dampak terhadap hubungan perdagangan Indonesia dengan negara-negara lain.
Ia berharap, jangan sampai dikemudian hari terjadi aksi retaliasi lagi yang pada akhirnya merugikan kedua belah pihak.
“Untuk meningkatkan daya saing adalah caranya hulu diperbaiki, pendidikan, matching antara kurikulum dengan industri, memperbaiki skill dari tenaga kerja gitu kan. Itu yang harus dilakukan, bukan membatasi,” paparnya.
Baca juga: Penyelundupan 23.942 Benih Lobster Berkedok Paket Garmen Berhasil Digagalkan
Kementerian Perindustrian saat ini tengah mengusulkan sejumlah tarif tindakan pengamanan perdagangan atau safeguard untuk produk-produk garmen impor.
Tujuan dari wacana aturan ini adalah untuk melindungi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional dari serbuan impor.