TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah baru-baru ini mengeluarkan wacana untuk mengenakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk kebutuhan pokok atau sembako.
Atas pengenaan PPN pada kebutuhan pokok ini dikhawatirkan dapat memicu polemik masyarakat yang dapat menganggu upaya pemulihan ekonomi bangsa.
Dilansir Tribunnews, Kamis (10/6/2021), hal tersebut juga diungkap oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR, Fathan Subchi.
Fathan mengatakan wacana ini dinilai kontraproduktif bagi upaya pemulihan ekonomi masyarakat yang saat ini sedang kesulitan akibat pandemik Covid-19 yang berkepanjangan.
Fathan memahami upaya pemerintah dalam memperluas basis pajak untuk meningkatkan pendapatan negara.
Namun, Fathan menilai wacana ini kurang tepat jika disampaikan dalam kondisi seperti ini.
Baca juga: Pemerintah Mau Pajaki Sembako, Anggota DPR Akan Menolak Dianggap Bebani Rakyat
Baca juga: Sembako Akan Dipajaki Pemerintah, Komisi XI: Itu Bebani Rakyat, Kami Akan Tolak
Apalagi menyangkut sembako yang merupakan kebutuhan pokok orang banyak.
Sehingga dikhawatirkan hanya akan memicu polemik yang bisa menganggu upaya pemulihan ekonomi.
“Kami paham bahwa pemerintah harus memperluas basis pajak untuk meningkatkan pendapatan negara."
"Namun ketika wacana ini disampaikan dalam waktu yang kurang tepat apalagi menyangkut bahan pokok yang menyangkut hajat hidup orang banyak."
"Maka hal itu hanya akan memicu polemik yang bisa menganggu upaya pemulihan ekonomi,” terang Fathan, Senin (7/6/2021).
Menururt Fathan, wacana pajak bahan pokok di saat perekonomian belum sepenuhnya pulih akan memberikan dampak negatif.
Dampak tersebut di antaranya dapat menurunkan daya beli masyarakat.
Baca juga: Rencana Pemerintah Pajaki Sembako Ditentang Anggota DPR
Belum lagi jika terjadi peningkatan biaya produksi yang dapat menekan psikologis petani.
“Memunculkan wacana pajak bahan pokok di saat perekonomian belum sepenuhnya pulih akan memberikan dampak negatif."
"Seperti penurunan daya beli masyarakat, meningkatkan biaya produksi, hingga menekan psikologis petani," bebernya.
Sehingga, menurutnya pemerintah harus lebih hati-hati dalam menggulirkan wacana tersebut.
"Harusnya pemerintah lebih hati-hati dalam mengulirkan wacana yang sensitif,” ujar Fathan.
Fathan juga mengatakan, skema penetapan tarif PPN untuk komoditas bahan pokok ini baru pertama kali digagas.
Hal ini lantaran sebelumnya 11 bahan kebutuhan pokok bebas pajak.
Baca juga: Bertambah Lagi, Menkeu Sri Mulyani Pajaki 8 Perusahaan Digital Ini
Bahkan, sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) juga melebarkan pemaknaan 11 bahan pokok itu, (yakni) menjadi apapun komoditas yang vital bagi masyarakat agar tidak dikenakan PPN.
“Skema penetapan tarif PPN untuk komoditas bahan pokok ini (baru) pertama kali dimunculkan."
"(Hal ini) karena di undang-undang sebelumnya 11 bahan pokok bebas pajak."
"Bahkan (sebelumnya) Mahkamah Konstitusi (MK) melebarkan pemaknaan 11 bahan pokok itu, (yakni) menjadi apapun komoditas yang vital bagi masyarakat,” kata Fathan.
Fathan menjelaskan dirinya telah menerima Rancangan Undang-Undang (RUU) Kententuan Umum Perpajakan (KUP).
Dalam RUU KUP tersebut, memang disebutkan ada tiga opsi skema tarif untuk menetapkan PPN Bahan Pokok.
Baca juga: Misbakhun Sarankan agar Menkeu Benahi Cara Pemungutan Pajak Ketimbang Naikkan PPN
Opsi skema penetapan PPN tersebut, yakni dengan memberlakukan tiga pilihan tarif PPN.
Pilihan tarif PPN tersebut di antaranya, tarif umum dipatok 12%, tarif rendah sesuai skema multitarif 5%, dan tarif final dipatok 1%.
Fathan memang mengakui jika di beberapa negara lain, komoditas bahan pokok juga menjadi objek pajak.
Kendati demikian, ketentuan yang terjadi di negara lain tidak bisa semata-mata diterapkan begitu saja di Indonesia.
Hal tersebut lantaran terdapat perbedaan konteks pada tiap-tiap negara.
Perbedaan tersebut meliputi stabilitas harga komoditas, juga serapan pasar akan hasil panen dan beberapa indikator lain.
“Ada perbedaan konteks seperti stabilitas harga komoditas, kepastian serapan pasar hasil panen."
"Dan beberapa indikator lain yang kebetulan di Indonesia masih belum stabil,” kata Fathan.
Sekretaris Fraksi PKB ini mengungkapkan, mayoritas harga komoditas bahan pokok di Indonesia masih belum stabil.
Dia mencontohkan adanya fluktuasi harga gabah yang kadang dapat merugikan petani.
Tak hanya itu, serapan hasil panen beberapa komoditas bahan pokok juga belum terjamin.
Menurut Fathan, jika terpaksa harus melakukan pengenaan pajak pada kebutuhan ekonomi, maka harus diimbangi kemampuan pemerintah dalam menyetabilkan harga.
Termasuk memastikan hasil panen dapat terserap dengan baik.
“Kalau mau menaikan pajak harus diimbangi kemampuan pemerintah dalam menyetabilkan harga, termasuk memastikan serapan hasil panen,” tandas Fathan.
Pedagang Pasar Koja Mengeluh
Dikutip dari TribunJakarta.com, Kamis (10/6/2021), seorang pedagang di Pasar Rawa Badak, Koja, Jakarta Utara, Eko mengatakan dirinya keberatan jika adanya pemberlakukan pajak bagi bahan pokok.
"Saya sebagai pedagang (ingin menyampaikan) ya jangan lah ada kenaikan pajak atau sembako dibikin pajak lagi," kata Eko, Rabu (9/6/2021).
Menurut Eko, apabila sembako dikenakan pajak, akan memunculkan dampak dalam kondisi jual-beli di kalangan masyarakat bawah.
Eko mengatakan, jika sembako kena pajak, maka harga sembako semakin naik.
Sehingga, otomatis pedagang pasar akan menaikkan harga.
"Dampaknya pasti akan ada kenaikan harga, terus daya jualnya juga penurunan," ucap Eko.
Terutama di masa pandemi Covid-19 seperti ini, di mana ekonomi masyarakat sedang sulit-sulitnya.
"Ditambah dengan kondisi Covid-19 ini, jadi daya beli masyarakat lemah. Menurut pedagang sih jangan ada lah ditambahin pajak," ucap dia.
Eko pun meminta pemerintah terjun langsung ke pasar-pasar sebelum menetapkan PPN terhadap sembako.
Tak hanya itu, bila perlu dapat dilakukan diskusi atau tukar pikiran dengan para pedagang.
"Harapannya pemerintah turun ke lapangan. Coba dilihat kayak apa, ke pasar-pasar, ketemu pedagang-pedagang," harap Eko.
(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani)(TribunJakarta.com/Gerald Leonardo Agustino)