TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Para pengusaha eksportir mebel Jepara di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, kini dipusingkan oleh kelangkaan kontainer kosong untuk kebutuhan pengiriman mebel produksi mereka via kapal laut.
Kalaupun ada kontainer kosong, harganya melejit tidak masuk akal, dengan kenaikan harga sewa hingga 500 persen bahkan lebih dari kondisi normal.
Ironisnya, para pengusaha mebel yang umumnya UMKM ini sudah menyampaikan keluhan ini ke Pemerintah, namun tetap belum ada solusi.
Pengusaha mengatakan, kalaupun ada kontainer kosong, dan harganya naik melejit, mereka harus menunggu berbulan-bulan.
Kondisi demikian membuat aktivitas ekspor mebel menjadi terganggung. Hal itu juga dialami oleh pelaku UMKM mebel di Kabupaten Jepara.
Sejak awal tahun 2020, Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) di Jepara sudah menyampaikan keluhan ini kepada pemerintah.
Namun, hingga saat ini belum ada tindak lanjutnya. Padahal, dinas terkait kerap kali mengadakan diskusi maupun seminar untuk mengurai permasalahan ini.
Hasyim, satu di antara pelaku UMKM mebel dan anggota Himki di Kabupaten Jepara, menjelaskan naiknya biaya muat kapal (freight) bisa mencapai 500 persen.
Dia membandingkan sebelum pandemi, biaya muat kapal hanya berkisar 2.800 dola AS untuk dikirim ke Jerman.
Baca juga: Juni 2021, Nilai Ekspor RI Capai 18,55 Miliar Dolar AS
"Sejak pandemi naik menjadi 12.800 dolar AS untuk kirim ke Jerman. Sedangkan untuk kirim ke Amerika Serikat bisa mencapai 20.000 dolar AS," ujarnya.
"Sebenarnya pasar Eropa sangat menjanjikan karena mereka masih butuh banyak. Tapi mau bagaimana lagi, kondisi masih seperti ini," tuturnya.
Berdasarkan pengalamannya, pada bulan Januari 2021 seharusnya Hasyim bisa mengirim satu peti kemas yang berisi produk mebelnya untuk pasar Eropa.
Namun karena tidak ada peti kemas yang kosong, alhasil dirinya harus menunggu hingga bulan Mei 2021.
Baca juga: Gangguan Sistem CEISA Bea Cukai Berisiko Menumpuknya Barang di Pelabuhan Tanjung Priok
"Enam hari sebelum lebaran itu barang saya baru bisa berangkat. Padahal seharusnya berangkat bulan Januari," kata dia.
"Nunggunya terlalu lama karena tidak ada peti kemas yang kosong. Kalaupun ada harus nunggu barengan supaya kapal mau berangkat," tegasnya.
Baca juga: Gangguan Sistem CEISA Bea Cukai Berisiko Menumpuknya Barang di Pelabuhan Tanjung Priok
Sebelum pandemi, dalam sebulan Hasyim bisa mengirim empat peti kemas mebel untuk pasar Eropa. Namun kini, belum tentu dalam sebulan dirinya bisa mengirim satu peti kemas.
Untuk menyiasati mahalnya biaya sewa dan muat kapal, Hasyim mengemas produk dalam bentuk potongan supaya bisa muat banyak,
Alan pengusaha mebel di Kabupaten Jepara ini juga mengeluhkan mahalnya biaya peti kemas.
"Iya betul biaya kontainer sekarang super mahal. Tapi masih diterima oleh buyer. Tergantung kita bagaimana menyiasati mahalnya biaya itu," ucapnya.
Alan masih beruntung karena dalam sebulan dia bisa kirim hingga 3 kontainer produk mebel ke Eropa.
Kapal sedikit
Sementara itu, seorang Costomers Service Export perusahaan forwarding di Semarang, Mayang mengatakan, yang terjadi bukan kelangkaan kontainer.
Melainkan ketersediaan operasional kapal yang hanya sedikit. Kondisi tersebut menjadikan ketersediaan space menjadi susah didapat dan kalaupun ada maka harganya naik 100 persen.
Misal ekspor tujuan ke New York City biasanya 10.000 - 12.000 USD sekarang 22.000 USD. Kapal yang jalan sedikit tapi yang mau ekspor banyak.
"Selain itu kondisi sekarang sistem bea cukai down bikin menghambat biaya operasiobal jadi mahal," imbuhnya.
Mayang mengatakan kebanyakan produk yang dikirim antara lain furnitur, toys, bahan baku pestisida, hingga cosmatic packaging.
Tujuan pengiriman kebanyakan ke negara New York City di Amerika Serikat.
Tanggung Jawab Pemerintah Pusat
Desember tahun lalu para eksportir, importir, dan industri pelayaran sempat mengalami masalah langka dan mahalnya peti kemas.
Hal itu terjadi karena beberapa negara melakukan lockdown sehingga suplai dan permintaan peti kemas tidak seimbang.
Tahun 2021, faktanya masalah tersebut masih belum terurai. Justru semakin diperparah dengan naiknya biaya muat kapal (freight). Lonjakan bisa mencapai 400 hingga 600 persen.
Menurut beberapa eksportir ini merupakan akibat dari gelombang kedua pandemi Covid-19.
Sudah selayaknya pemerintah perlu memfasilitasi kontrak angkut para eksportir dan importir dengan operator pelayaran jalur utama (main line operator/MLO).
Selain itu, perlu adanya insentif untuk peti kemas kosong dari daerah yang surplus ke daerah yang defisit.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Tengah, Arief Sambodo mengatakan, pihaknya sudah pernah berkirim surat kepada Kementerian Perindustrian terkait langka dan mahalnya peti kemas.
Sudah banyak pelaku UMKM, eksportir, maupun importir yang mengeluhkan keadaan ini ke pihaknya.
Dia mengatakan, persoalan kontainer langka ini berkaitan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
"Kami meminta ada kebijakan untuk menekan biaya (freight) kontainer. Secara keseluruhan masalah ini masih belum ada solusinya," ujarnya.
Arief juga meminta kepada para pihak untuk bersabar. Sebab, pandemi ini membawa dampak yang cukup signifikan terhadap seluruh sektor ekonomi.
Namun, dirinya juga tak mau terlalu lama menunggu kebijakan kongkrit dari pemerintah.
"Selama menunggu munculnya kebijakan itu, kami terus melakukan jemput bola terhadap pelaku UMKM. Melalui kegiatan virtual untuk mengenalkan produk mereka terhadap konsumen lokal.
Supaya pasar lokal bisa menjadi backup dikala mahalnya biaya ekspor," jawab Arief yang juga masih menjalani isolasi mandiri.
Ekspor naik
Berdasar data BPS Februari 2021 ekspor Indonesia menjadi 15,265 persen. Naik 8,56 persen dibandingkan Februari 2020.
Sedangkan impor Indonesia pada bulan Februari 2021 sudah mencapai 13,264 persen.
Naik 14,86 persen dibandingkan dengan Februari 2020. Ekspor non migas paling banyak menuju ke negara Tiongkok, disusul negara Amerika, Jepang, dan Malaysia.
Indonesia National Shipowners Association (INSA) pernah menyebutkan tahun 2021 kelangkaan peti kemas tidak terlalu parah.
Hal tersebut terjadi karena beberapa negara seperti Tiongkok, Uni Eropa, dan Amerika Serikat sudah tidak menerapkan lockdown. Tapi harus tetap diwaspadai.
Naiknya biaya sewa peti kemas tak hanya disebabkan oleh kelangkaan.
Melainkan juga ada beberapa faktor yang mempengaruhi, seperti disrupsi perputaran peti kemas, tutupnya beberapa pabrik, kurangnya tenaga kerja di pelabuhan, dan kurangnya armada truk.
Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), juga pernah mengemukakan efek dari tersangkutnya kapal Ever Given di Terusan Suez, Mesir, Maret lalu juga mengacaukan lalu lintas pelayaran dunia. Alhasil memperparah kelangkaan peti kemas.
Mengingat 15 persen lalu lintas pelayaran global melalui Terusan Suez. Sebenarnya kelangkaan peti kemas tidak terjadi di Indonesia saja, melainkan terjadi secara global. Singapura, Hong Kong, dan Dubai juga mengalaminya.
Terlebih untuk ekspor tujuan Eropa dan Australia sangat sulit untuk mendapatkan peti kemas kosong.
Bongkar di luar
Ketua Pengusaha angkutan barang dan peti kemas yang tergabung dalam DPC Organda Angkutan Khusus Pelabuhan (Angsuspel) Tanjung Emas Semarang, Purwo Widodo mengungkapkan tidak ada kelangkaan armada angkut kontainer, tapi pada saat minggu lalu sempat ada gangguan sistem.
Akibatnya kendaraan tidak bisa melakukan proses bongkar muat dan kondisi tersebut membuat proses ekspor impor terhenti beberapa hari.
Karena terjadi gangguan sistem, akhirnya truk tidak bisa bongkar, muat tidak bisa masuk ke pelabuhan.
Dia mengatakan, dalam sehari ada ribuan kontainer keluar masuk pelabuhan Tanjung Emas Semarang.
Kebanyakan satu kontainer hanya berisi satu jenis muatan saja dengan berat maksimal sesuai aturan. Arnada 20 feet rata-rata memiliki kapasitas angkut 18 ton dan untuk truk 40 feet mampu 25 ton. (tim)
Artikel ini tayang di TribunJateng.com dengan judul LIPUTAN KHUSUS : Terjadi Kelangkaan Peti Kemas dan Harga Pengiriman Naik 500 Persen