Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anak usaha PT Pertamina (Persero), PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) diminta pintar mengelola Blok Rokan, yang merupakan blok migas terbesar di Indonesia.
Hal tersebut disampaikan Anggota Komisi VII DPR Mulyanto menanggapi alih kelola Blok Rokan dari PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) ke PHR, mulai hari ini hingga 20 tahun ke depan.
Baca juga: Pertamina Resmi Kelola Blok Rokan, Ini Sejumlah Catatan dari ReforMiner
Menurutnya, PHR harus dapat mempertahankan kinerja lifting blok migas tersebut, syukur-syukur bisa dapat ditingkatkan dari produksi saat ini.
"Kita tahu blok Rokan ini adalah sumur tua yang menjadi saksi kejayaan migas nasional. Blok Rokan pernah menghasilkan minyak hingga tembus 1 juta barel per hari, namun belakangan secara alamiah terus mengalami penurunan," papar Mulyato.
Baca juga: Pertamina Jadi Operator Blok Rokan, Nusron: Momentum Erick dan Nicke Kembalikan Kedaulatan Energi RI
"Dengan mengakuisisi Blok Rokan, maka praktis Pertamina menjadi BUMN hulu migas yang paling dominan dari total lifting minyak nasional," sambung.
Melihat hal tersebut, Mulyanto meminta aksi korporasi dari perusahaan pelat merah ini diikuti dengan pembentukan manajemen yang andal, apalagi Direktur Utama PHR bukan orang dalam Pertamina.
"Ada sisi positif dimana Dirut PHR berasal dari SKK Migas. Paling tidak berbagai program perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kinerja blok rokan menjadi lebih akurat, program kerja akan semakin terpantau dan terevaluasi SKK Migas, melalui komunikasi dan koordinasi yang semakin lancar," papar Mulyanto.
Baca juga: Wilayah Kerja Rokan Resmi Dikelola Pertamina Hulu Rokan
Politikus PKS itu pun meminta Pertamina mengembangkan investasi peningkatan, dan penerapan teknologi pengeboran yang terbukti efektif, serta efisien seperti teknologi enhanced oil recovery (EOR).
Hal ini perlu dilakukan untuk mempertahankan kinerja lifting yang sekarang ada.
"Ini tentu tidak mudah di tengah suasana pandemi seperti sekarang ini. Karena itu perlu dukungan banyak pihak, baik kementerian ESDM, kementerian BUMN, pemda dan terutama SKK Migas," ucapnya.
Baca juga: Hampir 1 Abad Chevron di RI, Kini Blok Rokan Dikuasai Pertamina
"Di sisi lain, kalau memang PHR harus share down sahamnya sebesar 30 persen, karena tidak memperoleh pendanaan melalui mekanisme normal perbankan. Maka mitra yang diundang tentulah harus memiliki dana yang cukup, apalagi ketika ingin meningkatkan lifting minyak blok ini ke depan," tambah Mulyanto.
Namun demikian, Mulyanto melihat tidak cukup dengan itu, mitra yang diundang harus berpengalaman dan memiliki teknologi andal, karena lahan yang dikelola adalah blok tua.
Ia menyebut, alih kelola terhadap sumur tua bukan hanya perlu transfer data, pengetahuan dan SDM yang mulus, tetapi perlu juga tambahan investasi, pengetahuan dan teknologi baru.
"Bila tidak, maka produktivitas lifting akan terus berkurang (decline) secara alamiah. Indonesia memiliki semangat untuk meningkatkan lifting minyak nasional menjadi 1 juta barel per hari di tahun 2030, tentu ini menjadi pressure bagi manajemen PHR untuk secara smart membuktikan kinerjanya," ujarnya.