News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Akademisi: Regulasi PLTS Atap Bisa Timbulkan Gejolak Tarif Listrik

Penulis: Sanusi
Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sanusi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Upaya pemerintah untuk mendorong penggunaan Rooftop Photovoltaic (PV) atau PLTS Atap (Rooftop) dengan mengubah regulasi harga beli listriknya dari semula 65 persen menjadi 100 persen dinilai akan menimbulkan ketidakadilan bagi sebagian besar pelanggan listrik PT PLN (Persero).

Pakar energi listrik dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung Nanang Hariyanto, mengatakan pelanggan harus membayar listrik lebih mahal sebagai dampak kenaikan Biaya Pokok Produksi (BPP) akibat pertambahan jumlah PLTS Atap yang masif dan harga beli listriknya yang tinggi.

Nanang Hariyanto, juga mengatakan jika dipasang PLTS Atap, beban yang ada di rumah akan mengambil lebih dulu energi yang dihasilkan dari PLTS Atap.

Baca juga: Aturan Wajib Beli Listrik dari Pembangkit Energi Terbarukan Berpotensi Bebani Negara

Sisanya dari solar radiasi yang dihasilkan kemudian dikirim ke jaringan PLN. Dari jaringan PLN kemudian dikirim ke rumah-rumah yang lain. Harga listrik sisa harus dibeli PLN dengan harga yang sama dengan harga jual listrik PLN sebesar Rp 1.440,7 per KWh.

“Ini yang saya lihat tidak adil. Waktu pengiriman ada susut energi karena melalui jaringan PLN. Belum lagi ada biaya pemeliharaan jaringan dan biaya pengembalian investasi jaringan PLN. Harganya harus adil,” ujar Nanang saat diskusi dengan media secara virtual, Sabtu (14/8/2021) sore.

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong pengembangan PLTS Atap secara masif. Hal ini demi mempercepat bauran energi terbarukan (EBT) menjadi 23 persen pada 2025.

Baca juga: Diskon Listrik 50% Diperpanjang sampai Desember 2021, Cara Klaim Tak Lagi Via stimulus.pln.co.id

Salah satu insentif yang disiapkan pemerintah adalah revisi terhadap Peraturan ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Isi dari Permen ESDM yang sedang diharmonisasi tersebut menyatakan bahwa tarif ekspor-impor PLTS Atap akan mencapai hingga 100 persen atau naik 35 persen dibandingkan dengan peraturan lama yang hanya 65 persen. Artinya, PLN harus membeli 100 persen listrik PLTS atap.

Menurut Nanang, harga jual listrik dari PLTS Atap lebih mahal dibandingkan pembangkit PLTS non-Atap. Dia mencontohkan PLTS non-Atap seperti PLTS Cirata harga jual listriknya adalah US$4 sen per KWh atau setara Rp600 per KWh. Sedangkan PLTS Atap dijual ke PLN seharga Rp1.440 per KWh.

“Akibatnya, tentu saja Biaya Pokok Produksi (BPP) PLN akan naik,” kata Ketua Laboratorium Sistem Tenaga Listrik ITB.

Baca juga: PLN Siapkan 19 Pembangkit Listrik Tenaga Uap untuk Memproduksi Oksigen Murni

Selain itu, lanjut Nanang, sistem kelistrikan Jawa Bali ditopang banyak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang harus terus menerus beroperasi. Namun karena ada PLTS Atap, beban akan dipenuhi terlebih dahulu dari pasokan PLTS Atap. Akibatnya, operasi PLTU di tekan kebawah. PLTU yang biasanya beroperasi 70-80 persen, karena ada PLTS Atap, beban turun sehingga menekan operasi PLTU hingga 50-60 persen.

“Karena turun, keberadaan PLTS Atap menekan operasi PLTU operasinya hingga 50-60. Dampaknya, efisiensi PLTU menjadi rendah,” ungkap Nanang.

Akibat dua faktor itu, BPP pembangkit Jawa Bali menjadi naik. Semua pelanggan PLN akan menanggungnya. Padahal penyedia rooftop hanya beberapa persen. Kalau naik, harus disubsidi oleh negara. Jadi beban APBN.

“Akibat PV Rooftop yang hanya beberapa persen itu menyebabkan 70 juta pelanggan PLN merasakan dampak kenaikan BPP. Kecuali negara mau menanggung, silakan,” ujarnya.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini